Dalam tatanan kultur sosial yang lazim di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat, cita-cita selalu diidentikkan dengan keinginan seorang pelajar maupun seseorang yang masih dalam tahap tumbuh dan berkembang. Misalnya; cita-cita saya ingin jadi dokter, pilot, jadi seorang pengusaha, dll.
Berbeda dengan seseorang yang ingin melangkah lebih jauh yang hadir melengkapi hidupnya alias berumah tangga. Bukan lagi membahas cita-cita, melainkan keinginan (kriteria) seseorang yang diidam-idamkan. Kriteria laki-laki macam apa yang hendak wanita itu inginkan, ataupun sebaliknya kriteria seorang laki-laki terhadap calon istrinya.
Menentukan kriteria bagi seorang laki-laki maupun perempaun, merupakan hal yang wajar dan lumrah. Kendati bebicara masalah jodoh sebenarnya berada dalam genggaman tuhan, tapi tak ada salahnya kita berusaha menentukan sikap dan kriteria itu demi masa depan?
Namun pada sisi yang berbeda, sikap yang terlalu idialis dalam menentukan kriteria calon kadang malah membuat seseorang sulit menemukan jodoh, bahkan sakeng idialismenya, berani berkorban single sepanjang hidup sebelum menemukan kriteria itu. Akhirnya waktu yang begitu banyak yang mestinya buat menikmati kehidupan berumah tangga, menjadi hampa oleh sikap yang tidak diimbangi oleh ketentuan tuhan bernama takdir itu. Mereka terlalu percaya pada sebuah usaha atas keinginan kriteria daripada ketentuan tuhan.
Sikap ini nampaknya saya rasakan terhadap kawan saya sewaktu ngobrol lewat bbm (blackberry messenger) yang terlampau menyibukkan kriteria calon daripada takdir dan usaha. Tentu saja sikap ini membuat kawan saya itu hingga sekarang masih single.
Dalam percakapan itu awalnya saya ditanyain kapan nikahnya dan tanggal berapa. Setalah saya jabarkan lalu saya balik bertanya, “Kapan mau nikah?”. Saya menggunakan kata “mau” karena saya belum tau apakah dia sudah menemukan jodohnya atau malah sudah tunangan.
Lalu dia menjawab “Saya belum siap lahir batin?”. Dari jawaban ini saya sedikit terkejut. Dalam batin saya, maksudnya lahir dan batin yang gimana yang ia kehendati. Setelah saya desak akhirnya dia mengakui bahwa maksud dari itu semua adalah karena dia sendiri masih “single”.
Mendengar jawaban ini lantas saya menawari dia barangkali bisa membantu. Sambil bercanda saya menawarjan jasa dan bilang “Mau saya cariin?” Dan minta laki-laki yang model gimana?”
Alhmdulilah awalnya dia mengaku tak muluk-muluk dalam mencari seorang calon suami. Tapi setelah menyebutkan kriteria yang harus hafal alfiah, ikhya, manteq dan plus bisa menyopir, membuat saya sedikit terkejut.
Keterkejutan saya bukan soal Alfiah, manteq, ikhya maupun bisa nyopir, bisa itu semua bersyukur, melainkan mengapa tidak mencari ktriteria orang pinter saja. Bagi saya pinter lebih dari sekedar Alfiah, manteq, ikhya dan nyopir. Justru kriteria itu bagi saya terlalu sedikit dan sempit. Bukankan banyak orang hafal alfiah tapi gak bisa ngaji? Nulis bahkan ngomong? Saya sering menemukan itu. Lalu kalau tidak bejalar alfiah apakah tidak tau nahwu ataupun shorof?
Kalau kita mau menengok ke sebuah negara yang perkembangan ilmu ke-islamannya lebih dulu, Mesir misalnya atau bahkan Arab Saudi, belajar ilmu alat (nahwu maupun shorof) mencangkup berbagai sumber disiplin ilmu termasuk alfiah. Tidak fanatik satu bidang ilmu alat saja alfiah saja atau ibn aqil saja.
Apalagi kalau kita hanya taklid fanatisme terhadap sebuh kitab semisal ikhya ulumuddin, atau mantiq, malah akan ditertartawain orang arab. Karena kitab ikhya maupun manteq di dunia arab sama rata dangan buku-buku bacaan lain yang memiliki standar keilmuan sama dan berstatus buku bacaan. Meski Imam Ghozali memang terkenal dengan tasawuf dan ilmu politiknya. Bukankah masih banyak para pakar ilmu tasawuf dan politik selain Iman ghozali di dunia arab? Hanya saja mereka masih belum tahu banyak.
Bahkan sakeng fanatismenya kadang kita sampai ada acara semacam “khataman ikhya ulumddin”. Kok gak sekalian khataman kitab-kitab lain yang sudah tamat selama setahun. Kalau tujuannya acara tersebut bukan menjadi prioritas alias hanya sebagai bumbu acara-acara lain, saya kira tak masalah. Tapi kalau sudah menjadi prioritas tentu ini bisa di sebut sebagai taklid buta. Karena mengagungkan satu kitab, dan mengabaikan kitab-kitab lain yang juga dikarang oleh aluma ampuh.
Mengambil istilahnya kawan saya, mengapa kok gak sekalian bikin acara khataman qur’an yang lalu digabungkan dengan khataman-khataman lainnya, khan lebih afdol, karena benar-benar kitab karangan Allah.
Ikhya sendiri karangan Imam Ghozali, seorang manusia yang menggeluti tasawuf. Lahirnya kitab Ikhya sendiri bermula dari sikap Alghozali yang tak sepaham dengan pemerintahan setempat. Lalu pada akhirnya dia bertahanus dan mengarang kitab ini.
Konon kitab Ikhya sendiri sebenarnya masih mau ditelaah ulang dan dikoreksi lagi oleh sang pengarang Imam Ghozali, karena sakit dan akhirnya meninggal cita-cita itu kandas ditengah jalan.
Posted with WordPress for BlackBerry.