Proses Penantian Cerita

Proses Penantian Cerita

Apa yang dirasakan anak-anak kelas akhir sekarang ini adalah proses penantin panjang. Tepatnya tiga tahunan. Proses panjang itu menjadi sesuatu pemikiran dan perasaan tentang kesan mendalam soal sejarah dan kenangan. Dari kesan dan kenangan itu akan dibawa menjadi cerita, bahan dongeng dan akhirnya menjadi meleganda ke anak putu.

Saya berfikir apakah cerita rakyat soal sejarah perjuangan para pejuang, maupun cerita soal kerajaan kerajaan di Jawa termasuk perjuangan Wali Songgo menyebarkan Islam di ranah Jawa merupakan cerita hakiki atau sebagian ada yang dibesar-besarkan?

Karena cerita sejarah dari generasi kegerasi akan ada penambahakan atau pengurangan bahkan bantahan atau meminjam istilah pengamat sejarah sebagai memutarbalikkan sejarah.

Contoh seperti sejarah cerita PKI di Indonesia ketika membantai beberapa Jenderal yang ketika rezim orde baru masih berkuasa adem ayem saja soal sejarah kebringasan komunis. Dan termasuk saya meyakininya bahwa PKI sebagai organasisasi politik makar terhadap NKRI.

Seiring perjalanan waktu dan tumbangnya rezim Orde Baru, sejarah itu kini mengalami dinamika persepsi berbeda. Beberapa pengamat sejarah dianggap sebagai sebagai skenario dari Jenderal Soeharto untuk berkuasa. Kemudian lagi sejarah asal asul Wali Songo yang saat ini menjadi polemik antara keturunan Ba’lawi atau bukan.

Semua cerita itu juga tidak luput dari cerita anak-anak ketika mereka diwisuda. Ada banyak bahan yang akan diperbinjangkan kelak ketika mereka sudah berumah tangga. Kenangan indah itu saya kira merupakan bahan referensi yang tidak akan kembali terulang.

Jadi semua orang pasti punya cerita sendiri. Anak-anak yang kemarin diwisuda memiliki kenangan indah ataupun sebaliknya. Tiga tahun saya kira lebih dari cukup mereka mendapatkan cerita dalam proses menimba ilmu disini. Baik buruk hanya mereka yang tahu. Tapi jangan sampai kenangan itu menjadi bahan utama dari tujuan utamanya yaitu mencari ilmu.

Sebab orang belajar atau sekolah tujuan utamanya adalah ilmu, bukan mencari bahan cerita kenangan atau mencari pertemanan. Karena penantian panjang itu tak semudah membalikkan telapak tangan. Tiga tahun proses mencari ilmu itu tidak sebentar. Butuh mental dan pendanaan cukup.

Mental santri atau siswa dari hari ke hari, minggu, bulan dan tahun dalam proses belajar di kelas sangat fluktuatif. Kadang tegak lurus dengan keinginan pengajar. Kadang pula mengalami degradasi mental karena faktor satu lain hal. Mental kuat akan bertahan hingga selesai, namun mental lemah akan terpental keluar dari proses belajar.

Kemampuan mereka menyelesaikan proses belajar hingga selesai/tamat adalah mental-mental patut diapresiasikan. Lebih lagi mereka berprestasi tentu perlu mendapatkan penghargaan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top