
Pesawat mendarat di Bandara Amir Muhammad bin Abdul Aziz, Madinah, tepat tengah hari, hari Rabu. Panas matahari gurun langsung menyambut begitu pintu pesawat dibuka. Tapi hati Pak Parto justru dingin—dingin karena haru dan kagum.
“Ini Madinah, Bu…” gumamnya pelan. “Nabi kita dulu di sini, ya?”
“Iya, Pak. Di sinilah Rasulullah membangun peradaban,” jawab Bu Endang Nurhayati, menepuk bahu suaminya.
Terik matahari di atas langit Madinah hari itu memang berkisar 44-45 C, membentang luas tanpa sehelai awan pun. Membuat udara kering menampar wajah setiap kali angin berhembus, membawa aroma pasir dan kadang bau ketiak orang negro. Hari itu, Pak Parto melangkah keluar dari hotel berbintang tempatnya menginap, membawa tas kecil berisi air mineral, identitas dan uang real menuju ke Masjid Madinah untuk melakukan iktikaf.
“Inget, Pak. Niatnya dijaga terus. Ini bukan wisata, ini panggilan,” ucap Bu Endang Nurhayati dengan suara lembut, Istri beliau yang selalu dijadikan pedoman dalam derap langkahnya menjalankan ibadah haji.
Ketika pertama kali menjejakkan kaki di pelataran Masjid Nabawi, Pak Parto terdiam. Bangunan megah itu menjulang di depannya, bersih dan bercahaya. Hatinya berdesir. Ia merasa kecil, sangat kecil.
Ia duduk di saf belakang, bersimpuh dalam doa. Air matanya jatuh tanpa suara.
“Ya Allah, hamba-Mu yang hina ini Engkau undang ke rumah Nabi-Mu. Terimalah haji kami, ya Rabb…”
Hari-hari di Madinah diisi Pak Parto dengan memperbanyak salat di Masjid Nabawi, ziarah dan mengenang perjuangan Rasulullah. Beliau selalu ngikutinaku dimanapun aku beranjak keluar.
“Pak Parto, njenengan nggak capek ngikut saya terus?” tanyaku sambil tersenyum.
“Capek Jane. Tapi lebih capek kalo ditinggal njenengan,” jawab Pak Parto polos. Busett… kasihan deh istrinya hehe
Bersambung….