Makan bersama adalah satu hal paling nikmat. Apapun bentuk makanannya jika dilakukan secara bersama akan terasa indah. Slank menggambarkan “makan gak makan yang penting kumpul”. Saking pentingnya kebersamaan, makan bagi Slank bukan hal paling serius. Demikian sebaliknya se canggih apapun bentuk makanannya jika dilakukan secara nafsi akan jadi basi dan kurang dinikmati

Maidatul Ar-Rahmah barangkali mewakili itu. di setiap bulan ramadhan buka bersama di Maidatul Ar-Rahmah menggambarkan bagaimana menu makanan yang dihidangkan. Terlepas daging, ikan dan ayama, Maidatul Ar-Rahmah sebenarnya bukanlah kosumsian lidah orang Indonesia. Bumbu-bumbu racikan penduduk pribumi yang ala kadarnya terasa makanan seperti itu biasa saja bahkan tak nyaman. Karena dilakukan secara bersama rasa gak enak menjadi enak

buka bersama di rumah Lukman hari ke tiga bulan ramadhan (24/08/2009)

Di tempat saya misalnya Maidatul Ar-Rahmah setiap hari menghidangkan menu berat. Hari ini ikan, besok daging dan lusa ayam, dan itu terus menerus selama ramadhan. Meski itu tergolong makan berat racikan bumbu-bumbunya biasa saja. Biasalah warga pribumi yang memasak. Tapi mengapa setiap hari kami bisa menikmati hidangan itu? Persoalannya bulan lapar dan dahaga karena puasa. Ada rasa keterpanggilan untuk datang dan makan 😀 maksudnya kumpul dan membaur bersama penduduk pribumi dari berbagai profesi. Kapan lagi kalau gak sekarang kita makan bersama mereka

acara ini dalam rangka slametan istri Lukman yang sedang mengandung

Saya gak habis pikir bagaimana sebagian kawan kita (warga Indonesia) merasa kurang nyaman makan bersama penduduk sini. Padahal makan di Maidatul Ar-Rahmah adalah pengalaman berharga selain tentunya penambahan gizi. Penolakan makan di tempat seperti itu sepertinya ada isu yang menghebuskan bahwa biaya Maidatul Ar-Rahmah berasal dari uang gak jelas. Apakah uang korupsi, uang luqotoh (temuan) atau uang lainnya akhirnya diserahkan ke pihak yang membutuhkan seperti Maidatul Ar-Rahmah

Saya tahunya tahun lalu saat teman akrab saya dari Mesir Abu Bakar datang ke rumah. Sore itu dia menolak ajakan saya ifthor (makan) di tempat Maidatul Ar-Rahmah. Sambil menolak halus ajakan saya, dia bercerita “Sebagian penduduk sini terutama orang terpelajar, kurang menyukai berbuka di Maidatul Ar-Rahmah, mereka lebih memilih berbuka di rumah bersama keluarga. Salah satu faktornya –ada isu- bahwa uang itu belum jelas alias subhat. Coba anda lihat siapa saja yang datang di situ? Rata-rata adalah pedagang, kaum buruh dan anak-anak..!”

Kemudian dia melanjutkan ceritanya “Tapi kalau kamu merasa percaya bahwa biaya itu halal silahkan saja. Ini cuman kepercayaan saya”

Begitulah pandangan sebagian orang pribumi soal Maidatul Ar-Ahmah. Saya bukan tidak mempercayai dan tidak mengiyakan. Tapi dilihat dari silsilah, tempatnya Maidatul Ar-Rahmah gak mungkin berasal dari biaya subhat. Kedua, barangkali yang dimaksud oleh Abu Bakar adalah biayanya berasal dari orang yang pernah melakukan kesalahan. Anggap seperti denda bagi jamaah haji

Bersambung..!

2 thoughts on “Maidatul Ar-Rahmah (1)

  1. segera adakan maidah jilid ke 3..di Dermalak Areal..hehehehe

    @Admin: mari2 jangan lupa bawa2 ya *daging dan ayam 😀

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top