Sebenarnya acara malam hari di tepi pantai Ra’su Barr waktu itu sangat indah. bukan hanya pada corak tepi pantai yang adu hai atau bergentayangan cewek-cewek cakep sedang mencari mangsa di malam minggunya Mesir. Tapi lebih pada suasana batin antara satu kekeluargaan yang kumpul dalam satu wadah di tempat terbuka. Namun sayangnya atraksi yang berjalan belum ada setengahnya ini ternodai oleh segerombolan penduduk kampung —pribumi- yang hendak melihat beberapa penampilan dari kita
Penampilan yang semula dirancang oleh panitia rihlan berupa menyanyi, atau apapun yang hendak di set up menjadi kurang baik lantaran semakin berjubelnya penonton dari orang asing. Tidak hanya itu mereka –karena saking senangnya melihat kita- ikutan bernyanyi atau sekedar jalan-jalan ditengah berkumpulnya kami yang sedang membuat lingkaran bundar. Tidak tua atau muda larut dalam euphoria rombongan yang kian menghawatirkan

Membrutalnya penonton dari kaum pribumi membikin Abdurrahman atau Gus Pur gusar. Puncak amarahnya menjulang saat ia didorong oleh orang Mesir. “inta muslim wala ehh..!” komentar Gus Pur kepada mereka. Aksi ini hampir saja menimbulkan bentrokan kedua belah pihak. Namun yang kami kuatirkan ketika itu bukan Gus Pur selaku sang eksekusi penduduk pribumi melainkan Ribudin atau akrab di sapa Ribut. Di mata keluarga besar Madura maupun Al-Amien Ribut memilki nasionalisme tinggi terhadap mereka. Pun sebaliknya Ribut akan menjadi sosok malaikat penyabut nyawa dan berada di garda depan saat ada salah satu diantara keluarganya (Madura/al-amien) mendapat perlakukan tak enak

Begitu ada keganduhan kecil waktu acara beberapa orang bukan malah mengawasi gerak-gerik Gus Pur selaku eksekutor. Tapi sibuk mengamati RIbut, dikuatirkan amarah Ribut tak terkendali saat kawannya mendapatkan perlawanan dari pihak asing. Alhamdulillah kekuatiran itu akhirnya sirna karena baik Gus Pur maupun Ribut tak meruncingkan permasalah ini menjadi lebih akut
Babe sebagai pihak penanggung jawab rihlah bersama Falah akhirnya menyudahi acara yang semula akan dihelat hingga dua jam ke depan. Ini bukan karena kita mengalah, tapi lebih pada kondisi yang semakin kurang kondusif, kosentrasipun jika dilanjutkan pastnya juga pecah. Lagian gitar yang semula diperuntuhkan untuk irama nyanyi juga disita petugas penjaga tempat karena alas an sudah melewati pukul Sembilan malam

Acara pun berganti dengan foto-foto menikmati indahnya pemandangan malam Ra’su Barr yang waktu itu ribuan orang sedang bermalam minggu (kamis malam jum’at). Entah berapa jam kawan-kawan lain menghabiskan jepret-jepret dengan kamera. Saya dan kawan seperti kadarista, Encien, Falah dan Imam begitu juga anak-anak baru seperti Fikri, Imran dan Ripai pulang di saat rombongan lainnya sudah sepi, walau dari penduduk pribumi sendiri kian malam semakin membludak
Sampai di pintu gerbang ternyata kawan-kawan bergerombol di sana menunggu kehadiran eltramco . akhirnya kita bergabung
Bersambung
gege ustak