Kadang kita sendiri merasa benar. Padahal menurut orang lain tidak. Bagiku kebenaran hakiki milik Tuhan. Manusia hanya bisa meraba dan menduga. Kebenaran dan ketidak benaran adalah ikhtimal manusia yang belum sempurna.
Tuhan cukup bijak; “berusahalah” begitu petikan ayat Tuhan, setidaknya untuk mendekati kebenaran manusia diarahkan menggali kebenaran itu dengan cara berusaha. Namun kenyataanya tidak. Usaha itu hanya simbol dari manusia yang merasa merdeka. Sehingga sekarang ini marak di masyarakat rumus yang terbalik; benar jadi salah dan salah menjadi benar.
Aku kira masyarakat sekarang sudah mulai menghilangkan jejak akan kebenaran dari yang benar. Potensi otak/akal manusia mulai kurang difungsikan dengan baik. Sementara informasi instan menjadi primadona yang melejit tinggi. Ini mungkin juga karena perkembangan tekhnologi canggih macam handphone dll, yang tinggal mencet seketika informasi itu masuk, tanpa mencermati dan menggali pesan apa yang disampaikan.
Hidup di pedesan seperti saya ini butuh kesabaran yang tulus dan ikhlas menghadapi persoalan yang kadang membahagiakan dan kadang pula pelik. Tidak semua orang bisa menerima ide yang saya anggap benar. Demikian pun sebaliknya. Saya masih ingat pesan ayah saya satu jam sebelum wafat; “Le….dadi pemimpin ojo seneng mutungan”.
Pesan itu telah memberi isyarat dan mengajari saya akan rasa sabar yang tulus dan ikhlas bagaimana meramu masyarakat tanpa rasa egosentris berlebihan. Apapun informasi akan kebenaran maupun ketidak kebenaran bukanlah posisi prioritas. Ada hal lain menanti di depan jauh lebih dibutuhkan. Yang terpenting kita bisa menampung aspirasi itu tanpa menghilangkan esensi dari kebenaran maupun ketidak benaran