Menuju Sinai diperlukan perjalanan berjam-jam dari ibu kota. Ditemani hamparan padang sahara yang luas di sepanjangan jalan, kadang membuat kita terpesona atau sebaliknya menciptakan iklim yang membosankan. Rihlah (wisata) di sini memang tak terlepas dari hamparan sahara. Dari Iskandaria hingga yang terdekat pun semisal Ismailiyya padang sahara pasti akan kita jumpai

Salah satu solusi untuk menghilangkan kepenatan perjalanan adalah berhenti di kedai Kafe atau semacam restouran yang biasanya mangkal di pinggir jalan. Disini sebenarnya seorang sopir dituntut jeli dan berfikit jernih, mana Kafe yang sesuai dengan dompet mahasiswa dan mana Kafe tongkrongannya para turis asing. Agar nantinya tidak salah kaprah di saat melakukan transaksi jual beli. Apalagi seorang mahasiswa sudah terbiasa dengan harga murah, atau membiasakan diri melakukan penawaran ketat

padang sahara yang tandus

Jadi sangat riskan jika harga minuman mineral misalnya yang biasa dijual dengan harga 2 pound menjadi 5 pound. Atau harga makanan ringan Sipsi dipatok harga 10 pound. Kita tak berhak menuntut banyak pada seorang pedagang, justru semestinya kita memahami bahwa lokasi itu memang bukan tempat bagi –kebanyakan- mahasiswa, tapi tongkrongannya para turis asing. Toh kadang sifat negatif kita muncul, seolah-olah kita ditipu atau diapalah

Yang patut kita salahkan adalah sang pengemudi. Mengapa diberhentikan di tempat Kafenya orang asing(turis)? Bukan lokasi Kafe tempat umum? Hal-hal semacam ini sepele, tapi perlu mendapatkan perhatian serius, supaya kita tidak memalukan dan dimalukan. Atau agar kita tidak meninggalkan sebuah pertanyaan yang akhirnya menjadi polemik publik (rombongan)

Seperti kemarin itu, kami diberhentikan di Kafe miliknya turis asing (yang rata-rata kayaknya juga ingin menuju Sinai) Terlihat bus-bus rombongan berisi orang bule-bule. Saya tak berani beli makanan berat seperti Sawermagh atau sanwidj dll, pasti harganya mahal. Saya mencoba beli makanan ringan saja. Ternyata benar Sipsi yang dijual di ibu kota seharga 3 pound dipatok 10 pound. Ini harga gila, atau orang ini nipu saya? Lambat laun saya sadar bahwa tempat itu memang bukan kelas saya, tetapi kelasnya para turis asing

dari pada beli2 mendingan poto2 ajah

Saya lihat kawan-kawan lain hanya beraktifitas sekedar kencing, sholat magrib dan isya’ sisanya ada yang nongkrong disamping bus sambil ngrokok dan berfoto ria, atau berdiam diri dalam bus mini itu.Mungkin sudah tahu kalau harga disitu mahal. Sementara saya amati banyak kawan-kawan yang duduk di kursi belakang bus berteriak-teriak sambil gurau minta berhenti karena kelaparan. Saya pun demikian, sebelum sampai ke Kafe saya sudah menikmati mie goreng bekal jajan yang saya bawa dari rumah. Banyak juga yang tertarik dengan mie goreng bawaan saya. Sayang gara-gara mie itu perut saya sedikit mules minta berak. Untung bisa saya atasi secara dini

Berhenti di sebuah Kafe bukan hanya menghilangkan penat, tapi sebagai upaya untuk mengefreskan pikiran dari rasa kelaparan. Disamping itu Kafe juga merupakan tempat berlaburhnya para wisatawan untuk berwisata kecil pada sebuah tempat yang kebanyakan berisi makanan, minuman dan Syisya . Jika Kafe itu bagus tentu akan menambah daya historis berwisata

Bersambung

6 thoughts on “Sinai (2)

  1. wah, perjalanan yg luar biasa…apalagi dipandu oleh wartawan senior..semoga dilain hari bisa ikut serta menikmati;)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top