Mungkin ini adalah hal dan hil yang patut untuk ditiru, kebiasan orang sering membenahi dirinya setelah memasukkan makanan atau minuman membikin kita sehat kembali, penemuan mutakhir itu aku dapatkan dari telinga-ketelinga, dan sempat juga membrowser lewat cyber media, terbuki benar, bahwa orang sering beol itu membikin badan sehat lima sempurna malah seratus persen orang keseringan kesurupan makhluq halus disebabkan karena jarang melakukan pembenahan dalam perutnya, segala sesuatu yang dimakan di imbu –disimpan- rapat-rapat dalam ususnya, walhasil badan makin lemah, lesu dan bau.
Aku mengalami operasi ketika aku masih berada di ranah al-amien, waktu itu kelas V awal tahun, dimana kesibukan calon mualliem diuji dan digembleng yang merupakan salahsatu syarata untuk menjadi Mudabbir bagi adik-adiknya, berbagai kegiatan fisik dan ketrampilan dijalankan, salahsatunya adalah KMD –kursus mahir tingkat dasar-. Sebagai tradisi, sebelum KMD ditabuh adalah kegiatan mengisi SKK –syarat kecakapan khusus- yang berisi materi yang harus ditandangani dan sekaligus diujikan.
Kegiatan dan tradisi jelekpun disana sini masih bercongkol dalam menguji SKK, sebagai tradisi kurang layak dipertahankan, tak jarang dari teman-teman yang dibuat permaian oleh para penguji, permainanpun beragam, ada anggota disuruh kesana-sini tanpa arti dan tujuan jelas, insiden kecil berkedok pelanggaran juga masih menjadi kebanggaan. Antara penguji dan diuji saling menghantam dan merasani, anggota dalam benak hatinya “apa-apaan ini” dilain sisi penguji dengan bangga menyangkal “emm ini pembalasanku”
Tradisi yang sudah turun-temurun ini layaknya sebuah adat dan budaya dalam kepemimpinan bisa tak bisa harus dijalankan, dan anehnya memang sudah direncanakan dengan baik serta alasan dibungkus pakai sanggahan bagus agar tidak ketahuan atasan. Aku pernah mendenger dari fatwa teman dia bilang gini “Orang salah tak perlu dikasari, malah aku inginkan orang salah itu gimana caranya menangis dihadapanku setelah aku ceramai dengan lembut dan santun”. Untaian kata ini membuat aku merinding tujuh keliling, sebuah ungkapan layak dijadikan rujukan bagi kita. Sebab zaman sekarang sudah tidak usum lagi (meminjam istilahnya Mas Borju) menggunakan dan mempertahankan tradisi jelek, dan ini terhilat jelas saat dimana kita memberikan pengujian, tak jarang melakukan dan mempertahankan tradisi yang pernah dilakukan oleh orang sebelum kita, bukankah al-muahafadhotul a’la qadimi sholeh walajdu ashlah, nah mempertahankan tradisi itu boleh asal baik, jika jelek buat apa kita mempertahankannya? Justru akan memperparah citra kita aja,,,! Bukankah gitu thoo,,!
Emm ngrokok dulu ah,,,,,!
Disaat itulah aku akhirnya terbaring lemas tak perdayakan diri, ceritanya cukup singkat, namun memeras keringat orang lain, begini ; setelah sholat Dhuhur dan makan siang di rumahnya Ust Syarqowi Dhofir aku nyantai pergi ke sekolah – kelas-, tanpa ragu dan bimbang, karena memang tidak ada gejala apapun dalam perutku. Jam tangan menunjukkan pukul satu siang kurang lima belas menit, bel berbunyi “teng-teng-teng’ dari arah samping sekolahan. Sebagai orang taat mematuhi aturan, sebelum bel di tabuh aku udah berada di kelas, sambil menunggu guru, kuluangkan waktu untuk sejenak mondar-mandir kesana kemari disamping kelas sembari membaca-baca, dan sesekali tidur. Setalah itu ternyata guru Al-Qur’an ust Taufiqurrahman (kalau gak salah) hadir tepat waktu, dengan keadaan lugu dan sedikit malu, akhirnya ustad pengasuh pesantren (lupa) mengucapkan “Assalamualaikum Warahmatullah hiwabarakatuh,,!” pembahasan tentang lanjutan pelajaran al-quran terus berjalan, disaat dapat pertengahan kurang sedikit, aku merasa ada sesuatu mengganjal dalam perut kanan bawah dan atas anu. Pertama kali aku umpet dan tahan, eman kalau ditinggalkan mata pelajaran al-quran begitu aja, kalau tidak kebelet beneran aku tak mau keluar. Terus aku tahan setahan-tahannya, lambat laun tahanan itu tak berarti bagi kekebalan tubuhku, dengan terpaksa aku minta izin ke pengajar untuk buang sesuatu di kamar mandi, karena yang aku tahan adalah rasa mules berlebihan dan terasa ingin berak melulu. Sesampainya di Wc ternyata bukan malah mau berak, cletong dalam perutku tak mau dikeluarkan begitu saja, krasan mungkin. Terus aku denkan (aku usahakan) agar sesegra mungkin Cletong dalam perutku itu keluar sehingga cepet selesai rasa mulesnya. Walah ternyata gak mau dan semakin menjadi-jadi rasa sakitku, akhirnya aku teriak seteriak mungkin agar terdengar kawan-kawan. Aneh dari suara kerasku tak seorang pun menjemput aku yang sudah dalam keadaan sekarat. Beberapa lama kemudian kukerahkan segala kekuatan agar aku segera mungkin meninggalkan tempat Wc di Penginapan Tamu (samping Gedung Al-Wathan). Aku lari sekencang mungkin sambil menahan perut yang seakan mau tumpah dan pecah. Dalam ruangan penerimaan tamu itu aku terus meraung-raung, sesaat kemudian alhamdulillah teman konsulatku datang menjemput, si Kholiq, dengan keadaan tergopo-gopo Kholiq anak IDIA itu akhirnya melarikan aku ke penginapan di BPSK. Disitulah aku diberi pengobatan dan ramuan khas pesantren. Namun anehnya obat itu bukan malah menyembuhkanku dari lara dan duka, justru aku semakin muntah-muntah, segala obat dan makanan yang aku telan terkeluarkan tanpa disengaja.
Sore menjemput,,raut muka wajahku yang pucat sambil diikuti tangis isak raung-raung karena kesakitan, tiba-tiba dokter senior pondok (lupa) mengotak-atik tubuhku yang semakin panas dan dingin. Katanya “oh,,yah ini positif Usus Buntu” emm gak apa-apa kok dek cuman usus buntu katanya loroh tersenyum pahit. “Udah aku beri obat ini dulu ya dek,,entar kalau ada reaksinya gak usah dioperasi apalagi dibawa pulang ke Banyuwangi” Imbuhnya. Dalam keadaan meraung-raung aku masih menahan sakitnya perut yang dicabik-cabik. Obat-obat pemberian dokter masih belum bisa aku telan, karena terus menerus keluar (muntah) diberi lagi terus diberi obat oleh dokter hingga tak dimuntahkan,,,,namun hasilnya nihil, masih muntah terus,,! Kata adik kelas dan seperjuanganku se desa dan sekonsulat Muklik, Sholahuddin, Herman (tak menamatkan diri berhenti di kelas III Intensive ) serta Hamid (hingga tamat) bilang sembari mungkin menghiburku “lha iya lawong obat yang diberikan sama semua” dari obat Jerban (gudik) hingga pilek pun katanya obatnya sama, bisa mari kondi (bisa sembuh dari mana?)”. Tuhan ternyata waktu itu masih memberikan waktu gerak dan bernafas bagiku sebagai musafir, aku diberi kekuatan untuk bisa bertahan hidup, dan setelah melalui cobaan berat akhirnya aku bisa menghembuskan nafas sedikit segar serta otot-otot kencang pun mulai memudar, sejurus kemudian aku dapat tidur pulas sambil ditemani oleh bodigat-bodigatku itu. Entah aku tak tahu, tiba-tiba besoknya aku dapat telephone dari Indo (dari ortu) di kantor penginapan, dalam pembicaraan singkat itu orang tuaku akan menjemputku untuk dibawa pulang dalam rangka penyembuhan.
Besoknya benar ayah dan ibu serta Dik Amien dan anaknya kecil-kecil menjengukku di BPSK. Aku terkesima dan malah penyakit yang kemarin aku derita dengan berat akhirnya malah sembuh total, rasa sakit yang mengrogoti perutku tak ada lagi setelah bertemu dengan orang tua. Ayah nganjurkan untuk dibawa pulang saja,, setelah sowan ortu ke pak yai akhirnya aku dibawa pulang, pagi menjelang siang aku meninggalkan pesantren untuk berobat dan mampir di pamekasan beli-beli makanan ringan, dan akhirnya dalam perjalanan itu aku ditemani oleh hujan lebat sekali, bahkan mobil yang berAc pun tetap tidak menggoyahkanku yang sudah dinisbatkan orang sakit parah untuk sakit kembali, malah bersuka ria, bercanda tawa ama Rifqi dan Pepet adikku dari putra Dik AmienThohari. Orang tua bilang “ente sakit kok atau ingin libur tho”. Kedua-duanya heee,,,.! Malam mulai menjelma, aku masih dalam perjalanan menuju kelahiranku Banyuwangi, pukul sembilan malam aku sudah sampai di Banyuwangi dan langsung dibawa ke Rumah Sakit Al-Huda, disitu aku dilihat (ronsen) untuk mengetahui apakah aku memang terkena penyakit usus buntu atau tidak. Dokter spesialis usus menyimpulkan itu belum usus buntu, itu masih gejala, katanya dengan menyakinkan. Emm akhirnya aku pulang ke rumah, layaknya orang sehat, aku pulang tanpa dituntun lagi seperti saat aku masih kejang-kejang di kamar mandi karena kesakitan. Embah putri yang umurnya insya allah ratusan ini (dan sekarang udah meninggal) menunggu hingga larut malem di rumah. Dengan nada keheran-heranan Embah memijetiku owalah le-le seng hati-hati neng pondok (kalau di pondok itu yang hati-hati) dengan logot jawa tulen.
Sebagaimana anjuran dokter, dua hari lagi aku harus periksa di Rumah Sakit Al-Huda, untuk menyimpulkan kembali dan mendeteksi apakah kambuh kembali atau tidak, dalam keadaan seperti orang sehat, sore itu aku diperiksa kembali oleh tim dokter usus, dikatakan penyakitnya gak kambuh, dan Cuma gejala usus buntu. Aku pulang kembali kerumah dan cuman diberi obat anti kekebalan saja, serta disuruh tiga hari lagi periksa. Di rumah, adik Inung bercerita kalau dulu pernah dioperasi gara-gara usus buntu, dan setelah dioperasi itu katanya enak untuk makan apa-apa, malah makanan pedaspun tak menimbulkan sakit mag katanya. dan pesan terakhir inilah yang menghasratiku untuk operasi usus buntu, setelah tiga hari aku kembali periksa ke Rumah Sakit Al-Huda Genteng, dalam periksaya itu dokter memang menganjurkan untuk dilakukan operasi agar gejala usus yang aku hindap itu tidak kambuh lagi, awalnya aku menolak karena alasan takut, waktu sholat ashar kembali tiba, aku diberi waktu oleh dokter untuk memikir-mikir antara berani mau atau berani tidak mau karena takut. Dalam benak hatiku, ah aku mau sholat dulu mungkin setelah sholat itu aku menemukan yang terbaik bagiku. Emm,,,ayah mengajakku kembali ke dokter untuk menyatakan kesepian atau tidak untuk dilakukan operasi, jika ia akan dilaksanakan malamnya pukul 21 malam, jika tidak jadi operasi tak jadi masalah dan akan dibawakan obat saja, ayah dan serta Pak Maskur yang menemani ayah menganjurkan bismillah untuk operasi, emm dengan sedikit memberanikan diri akhirnya aku mau.
Setelah itu aku dibawa ke tempat khusus, tempat dimana orang akan dioperasi, ada yang aneh sebelum operasi, segala prasyarat harus terpenuhi antara lain, rambut bawah atau atas anu harus dicukur habis dan tak tersisa, wah ketika itu aku malu,,karena yang mencukur anuku Pak Masykur di kamar mandi, maklum aku tidak bisa mencukur sendiri karena tangan kiriku sudah diinpus, Malam hadir, berarti waktu pelaksanaan operasi segera dilaksanakan, wajahku pucat sekali,,karena takut. Sebelum operasi pas aku disuruh ganti pakaian operasi, yang mirip dengan pakaiannya orang arab namun kalau yang aku pakai berwarna hijau, setelah aku pakai aku digledek pakai meja khusus oleh Pak Masykur orang rumah yang ikut menemani ayah menuju ke tempat operasi. Emmm dengan nada berdebar-debar aku bingung kalang kabut,,rasa takut wah terasa berat sekali, wajahku pucat seperti kehabisan darah karena saking takutnya. Emm setelah masuk dalam ruangan steril khusus, akhirnya aku ditinggalkan dan di dalam, ku lihat orang-orang sudah siap dengan berbagai peralatan untuk mengobok-ngobok perutku, tanpa banyak kata dan memang aku melihat orang-orangnya seperti bisu semua, para operator serius sekali karena memang mulut dan semuanya di tutup kecuali hanya mata saja, yang menjadikan suasana semakin tegang. Aku berusaha ingin menahan diri ketika aku disuntik obat bius agar tak sadarkan diri, sembari nanti mungkin aku bisa melihat operasi berlangsung. Aneh memang ternyata aku tak kuat menahan biusan yang begitu hebat, akhirnya ke dua mataku yang sebelumnya melek kian redup dan akhirnya menghilang dan entah apa yang terjadi ketika itu,,,tahu-tahu perutku sudah terbungku oleh balutan-balutan kain putih,,ketika aku sadar setelah dua jam setelahnya. Dan masih panjang ceritanya..!
Itulah operasiku,,yang begitu mengesankan bagi hidupku,,dan pertama kali dan mungkin tak mau lagi, karena operasi itu menyiksa, terutama setelahnya alias pasca operasi berlangsung, buktinya aku harus latihan berjalan layaknya anak yang baru latihan berjalan, karena tanpa dilatih,, perutku mengeras dan menegang sehingga tidak bisa dibuat berdiri, jangankan dibuat berdiri tertawa pun perut dari bekas jahitan rasanya sakit minta ampun. Setelah operasi dan perawatan di rumah aku kembali ke habitat lamaku di pondok, aku harus sesegera mungkin kembali ke pondok mengingat aku sudah satu bulan lebih berada di rumah, bahkan dikabarkan oleh rekan-rekan di pondok bahwa aku cuti sekolah, karena kelamaan, yang akhirnya berkat idialisme pak yai akhirnya aku diterima kembali sebagai santri. Waktu pasca operasi aku tak pernah merasakan adanya hal-hal yang ganjil atau ganjul seperti apa yang saat ini didentumkan oleh kawan-kawan, sama sekali tidak ada efek entah itu sering berak atau apa, malah aku sering makan sambal, dan memang nyaman aku gak pernah lagi sakit perut. Mengenai aku sering beol itu adalah ketika aku mulai menjajaki cerutu rokok ketika mengabdi di pondok. Biasalah kalau orang berak itu sambil merokok nikmatnya minta ampun, enak sekali, nah karena tradisi kawan-kawan ustadz saat itu yang ketika berak merokok akhirnya aku tirukan,,hingga kini. Malah karena sudah menjadi tradisi acap kali berak pasti tak lupa membawa rokok jika tidak maka tak nyaman,,dan sakeng terlanjurnya tak dalam keadaan berak pun ketika sudah memegang rokok rasanya ingin memberakkan diri, habis ngerokok di wc enak sih,,sambil merenung, memikirkan sesuatu yang menyenangkan. Coba buktikan deh,,! Pasti ketagihan
Oleh karena itu menisbatkan aku sebagai manusia yang suka beol disebabkan karena operasi yang pernah aku alami pada tahun 2002 lalu, ini hanya cerita ilusi, aku gak pernah menyangkal kalau beol itu karena masalah operasi, sama sekali tak ada dasarnya.. Jika itu benar, mengapa ketika pasca oparasi dulu aku tidak sering melakukan Beol? Dan toh jika itu beol setelah makan karena atas dasar proses dalam perut itu semua langsung keluar, itu malah sehat, karena tidak akan menjadi busuk dalam usus serta metabolisme akan lancar,,,. Gitu lho,,,kalau kita gak bisa berak ini malah menjadi musibah karena kotoran yang sudah karda warsa tidak bisa dikeluarkan dan akhirnya membusuk,,,dan akhirnya sakit,,dan akhirnya,,,,melemah