Setengah satu malam kami sampai di Sinai. sebelum berjuang menaiki pegunungan yang menjulang tinggi. Perut harus terisi. Tapi jangan kebanyakan. Gara-gara masakan sedap buatan Arie (panitia rombongan) saya kekeyangan . Perut jadi gak enak, rasanya mau buang air besar . Sementara kawan-kawan akan berangkat pukul satu tepat. Jadi antara mau dibeolkan atau tidak. Saya pilih terakhir itu, mengempat (menahan) hingga sugesti ingin beol lenyap dipikiran saya. Ide saya manjur, alhmadulillah. Walau berganti rasa menjadi ingin buang air kecil. Tak apalah, apa artinya air kecil dari (buang) air besar, kata saya. Ini juga saya tahan. Sayang hanya berhasil bertahan satu jam setengah. Di pertengahan puncak, di mana saat saudara Yasin Sadiqin, Azhar Amrullah Hafidz dan Imam Zarkasy berburu musa’adah –pahala- Tuhan dengan menunaikan shalat jama’ Magrib dan Isya’ di posko jualan. Saya mengumbar (membuang) air seni ditemani botol air mineral suci

suasana makan sebelum mendaki

Di lokasi posko tersebut yang menurut saya merupakan tempat peristiharatan terlama dari tempat-tempat sebelumnya, menciptakan kenangan tersendiri bagi saya. Ceritanya; Yasin Sadiqin memanggil saya, di tempat posko penjualan yang hanya diterangi lampu buatan, bikin penglihatan saya kurang tajam. Saya kira dia manggil minta air mineral yang saya bawa. Ternyata tidak, tapi menyuruh saya mengamankan barang berhaga yang ia bawa melulu di tangan (kamera digital). Sementara saya tahunya waktu mau berangkat dari trmpat peristirahatan itu, untung barang itu aman. Orang-orang bule waktu itu sedang baik-baik atau memang orang bule itu baik-baik?

encien (dua dari kiri) sedang pedekate ama bule

Menurut saya orang bule itu dewasa-dewasa, mereka lebih bertoleransi dari orang turost. Semisal mereka ngantri dari pintu menuju gunung Sinai. sebelum berjuang menuju puncak, satu persatu setiap orang dapat pemeriksaan ketat dari petugas. Pastinya ngatri panjang. Namun rombongan kami tidak. Sudah datang terlambat nyrocos saja nerobos barisan orang ngantri yang banyak diisi orang bule-bule. Mereka tidak marah. Atau malu untuk marah? “Masak mereka punya rasa malu?” Kata kawan satu rombongan saya. “Lawong telanjang di pantai mereka sudah biasa kok” Timpalnya sembari ngingatin saya untuk ngantri bersama turis asing

Cerita lain. Rombongan kami bernama Alif sedang kena musibah. Anak berjenggot itu kehilangan kamera digital. Entah bagaimana asal muasalnya, tiba-tiba ada seorang bule dari sebuah negara mengembalikan. Peristiwa yang jarang dilakukan seseorang. Dia sendiri sudah pasrah. Apa boleh buat, di tengah malam gelap gulita dan banyak manusia tak dikenal, harapan ketemu hanya secuil upil. Tapi dewi fortuna berbuat lain. Kamera Digital yang hilang selama hampir enam jam itu kembali di saat dia murung bersama lelahnya naik turun gunung

mendaki gunung

“Sudahlah gak usah membanding-bandingkan orang asing dengan kita. Sebaik apapun mereka, kita tetap terbaik”. Kata Keh Gundalgandul. “Kok bisa keh” Kata saya. “La ya iya mereka suka main, sementara kita khan gak suka main, tanpa ikatan sesuatu” Timpalnya

Kadang kita memang berpikiran negatif tentang mereka. Dari kulit yang bersisik seperti babi, hingga bau amis. Saya sendiri menilai lain. Bau-bau mereka terasa wangi. Setiap saya berpas-pasan dengan turis bule-bule. Rasa minyak wangi, bukan bau ketek yang biasa suka diumbar oleh orang asia dan orang hitam itu

One thought on “Sinai (4)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top