Kalau tak salah hari ini kawan saya dari Gresik Jih Imam Wahyuddin begitu saya menyapanya melangsungkan pernikahan yang pertama kali dan mudah-mudahan juga terakhir hingga akhir hayat. Sedih rasanya tidak bisa ikut serta acara akbar itu. Karena minggu lalu saya sempat menyanggupi bisa hadir disana ketika dia mengabari saya soal ini dan berusaha ikut andil atas kebahagian mereka berdua. Tapi takdir mencatat lain bahwa hari ini saya belum bisa bersilaturrahmi.
Mengenal jih Imam maka tak bisa saya lepaskan dari intelektualitasnya. Sejak dulu ketika sama-sama masih di pesantren bakat menulis serta kemampuan membaca yang tekun telah menginspirasi saya untuk membaca dan berdiskusi. Idiologi ini terus terbawa hingga akhirnya sama-sama melanjutkan pendidikan ke Mesir.
Walaupun pada akhirnya di sana beda jalan. Tapi semangat itu sebenarnya masih menyatu yaitu soal keakraban, kebersamaan dan saling memberi masukan. Bahkan ihram pun juga bersama-sama.
Ada satu hal pesan dia yang belum saya lupakan sampai sekarang “Jih kamu harus selesai, dan pulang kampung tahun ini”. Testimoni ini disampaikan ketika berada di Madinah sebelum berpisah meninggalkan tanah haramain.
Dari kebersamaan itu hanya satu yang terlewatkan dan tidak kompak, soal nikah. Jih Imam menurut saya sedikit terlambat dari kawan-kawan lain yang sudah mendahului bertahun-tahun termasuk saya hingga memiliki karya momongan masing-masing. Walaupun sebenarnya kata terlambat bukan inti dari label nikah daripada tidak sama sekali. Intinya sebenarnya kenikmatan. Bedanya Jih Imam baru dan akan menikmati “rasanya”, sementara kawan lain termasuk saya sudah menikmati “rasanya” berkali-kali. Mungkin saja Jih Imam nanti malam atau lusa dalam lubuk hantinya akan merasa menyesal “kenapa kok tidak sejak dulu..!”.
Selamat menikah jih..semoga barakah dan manfaat. Amien