Jika dibanding dengan alumni daerah lainnya, Madiun, Magetan, Ngawi, Ponorogo dan sekitarnya termasuk daerah yang aktif mengadakan kegiatan pertemuan alumni. Dalam setiap tahunnya, saya sudah tiga kali menghadiri acara pertemuan alumni yang dikemas dalam acara haul pendiri pesantren Mbah Yai Chozin.
Awalnya pertemuan tahunan seperti ini hanya sebatas daerah sana saja tanpa sepengetahuan dan konfirmasi dari induk pesantren sebagai penaung dari para alumni tersebut. Pihak induk maupun pesantren sebatas mendengar kalau di daerah sana ada aktifitas pertemuan. Sehingga tidak melibatkan pengurus maupun pengasuh pesantren.
Dan pada sebuah pertemuan awal atau tepatnya tiga tahun lalu saya beserta rombongan dari induk dapat undangan untuk menghadiri acara tahunan alumni di daerah Ngawi. Dari situlah kemudian menghasilkan kesepakatan bersama bahwa pertemua alumni pesantren subulul huda persen perlu diatur lebih baik dan melibatkan semua jaringan alumni seluruhnya beserta pengurus dan pengasuh.
Selain itu poin yang paling menohok adalah dalam tiga tahun sekali pertemuan alumni seluruhnya bertempat di induk atau pesantren. Jadi dua tahun berturut-turut pihak pengurus menghadiri kegiatan alumni di daerah sementara tahun ke tiga alumni datang ke pondok untuk menghadiri acara mubes alumni sekaligus haul mbah Yai Chozin.
Sehingga dengan demikian ada nilai ikatan batin antara pesantren dan alumni, khususnya bagaimana memikirkan keterlanjutan dari pesantren sekaligus ikut andil dalam mengembangkan dan membesarkan pesantren. Sebab bagaimanapun juga alumni adalah ruh hidupnya pesantren.
Dua tahun lalu ketika saya memberikan sambutan dihadapan alumni membuat semacam tugas dan PR bagi mereka. Tugasnya sebenarnya tidak terlalu rumit. Hanya membutuhkan kemauan kuat dari pada alumni yaitu agar anak-anak alumni paling tidak ada satu atau dua dari anak mereka bisa merasakan pendidikan di pesantren Subulul Huda. Intinya mengisi pesantren yang sekarang ini bisa dikatakan telah banyak ditinggalkan generasi alumni.
Mengikuti trend pesantren lainnya malah lebih tegas lagi “wajib” hukumnya menyantrikan anak alumni ke pesantren. Dan saya lihat memang ada yang berhasil ada pula yang biasa-biasa saja. Di sini pun juga demikian selama tiga tahun saya mengikuti acara pertemuan alumni dan setiap memberikan sambutan selalu menekankan hal tersebut ternyata belum berhasil mengarahkan anak-anak alumni untuk nyantri di pondok sini.
Terakhir pertemuan kemarin di Madiun, permasalahannya kadang malah timbul dari orang tua mereka sendiri terutama dari pihak ibu yang konon tidak tega memisahkan anak untuk menuntut ilmu jauh ke Banyuwangi. Meski sebenarnya ini persoalan lumrah yang ada sejak zaman dulu, namun zaman now seperti sekarang ini mengarahkan seseorang untuk lebih protektik mengawasi anak ketimbang mengikhlaskan anak untuk menuntut ilmu walau jauh nan disana.
Kekuatiran lainnya adalah ketika anak tidak kerasan. Orang tua pasti harus bolak-balik ke pesantren. Jarak yang jauh inilah yang bahasa jawanya awang-awangen oratua untuk mengikhlaskan anak belajar ke pesantren sini. Kasus seperti ini memang sempat terjadi empat tahun lalu ketika ada salahsatu alumni Madiun menyantrikan anaknya kesini. Dalam sebulan saja orang tua harus bolak-balik ke pesantren antara mempertahankan atau mencabut pulang. Yang pada akhirnya hanya bertahan setengah tahun setelah melewati cobaan dan mencoba-coba ternyata tetap dan menyerah pulang.