Suatu saat dosen fiqh saya pernah nyeletuk tentang sikap para pemimpin umat Islam Indonesia yang terkesan mbeling dan tak mau kompromi. Beliau bilang ulama Indonesia itu luar biasa dahsyatnya, kepinterannya mereka bisa menciptakan perbedaan pendapat satu sama lainnya dalam menetapkan hari raya. Sentilan singkat tersebut satu sisi mengandung sanjungan besar pada ulama-ulama Indonesia, sisi lain merupakan kritikan, karena terkesan nocooperation and compromise dengan umara atau pemerintahan yang sebenarnya –masih- dipegan orang Islam
Apa yang kurang dengan Indonesia? Pemimpinnya orang Islam, para menterinya rata-rata beragama Islam, punya menteri agama yang beragama Islam, umatnya saja 80 orang Islam dan terbesar di dunia. Apakah para ulama masih belum percaya dengan pemerintahan? Bukankah rakyat baik adalah rakyat yang patuh pada pemimpin atau kholifahan yang sah? Lantas sikap sebagian ulama yang merasa benar atas keyakinannya itu sudah tergolong makar?
Dalam Islam sendiri memang mengenal ilmu falak, hisab dll semuanya mempunyai fungsi salahsatunya adalah untuk mengetahui penanggalan bulan dll dan Islam sendiri sudah menegaskan bahwa perbedaan itu adalah rahmat. Namun perlu dicacat pula tidak semua perbedaan itu memberikan kerahmatan kadang sebaliknya perbedaan menciptakan pertikaian dan perpecahan karena perlu disadari bahwa masih banyak orang awam belum mengenal lebih jauh tentang makna dari perbedaan pendapat
Sejarah kelam Islam sendiri dalam perjalanannya tidak terlepa dari unsur ikhtilaf atau perbedaan baik mengenai penetapan, riwayat, atau aliran pemikiran. Seperti pada zaman sahabat tentang penetapan siapa yang berhak menjadi kholifah selepas nabi wafat apakah Abu Bakar atau Ali Bin Abi Thalib, atau pada masa ulama seperti Ibnu Arabie sendiri adalah salahsatu tokoh sufi yang pernah dianggap kafir oleh empat puluh ulama terkemua atas ajaran Wihdatul Wujud, begitu pula Moh Abduh tokoh sentral pembaruan Islam timur tengah yang dicap sebagai pembawa ajaran sesat atau pada sosok Hasan Al-Banna sang proklamator ikhwanul muslimien yang dianggap berbahaya dan radikal
Beberapa contoh perbedaan tadi merupakan pola pikir pemimpin atau ulama zaman dulu dimana saat itu dunia masih muda dengan berbagai pengalamannya. Namun pada saat sekarang ini, ketika dunia semakin menua, pengalaman soal perbedaan menumpuk semestinya para ulama sekarang bisa mengambil manfaat atau ikhtibar dan lebih dewasa dalam berfikir artinya apakah perbedaan punya andil besar pada suatu kaum atau sebaliknya menciptakan kebencian
Indonesia sebagai negara Islam terbesar di dunia yang kian hari kian menumpuk para ulama gadungan yang diikuti pula menjamurnya sosok para preman (orang awam) kelas kakap, menciptkan perbedaan bukanlah solusi tepat. Perbedaan bukanlah larangan agama, bukan pula syerik, namun lebih memandang larangan perbedaan pendapat –soal penetapan hari raya- pada segi sosial masyarakat artinya ketika sebuah negara dipimpin oleh Islam semestinya segala persoalan tentang ke islaman diserahkan ke pemerintahan. Bukankah pemerintahan kita sudah ada menteri agama (islam), punya pendukung tetap dalam wadah MUI?
Alqur’an sendiri sudah menyatakan dengan tegas tentang sistem keataan pada ulil amr yaitu ulama dan umara atau pemerintahan. sebuah negara yang bukan dipimpin oleh kholifah Islam hendaknya mengikuti ulama atau jika negara telah dipimpin oleh seorang beragama islam dan mendukung sistem keislaman seperti negara-negara teluk atau timur tengah, semestinya ulama sejalan dengan pemerintahan sehingga tidak terjadi tumpang tindih dalam penetapan sesuatu
Dalam persoalan penetapan hari raya negara-negara timur tengah selalu patuh dan tunduk dengan keputusan yang dibuat pemerintahan artinya sebuah keputusan yang diambil oleh pemerintahan juga merupakan keputusan para ulama. Akhirnya mereka jarang timbul perbedeaan penetapan hari raya meski kadangkala antara satu negara dengan negara lain di teluk berbeda merayakan hari raya, tetapi khan setiap negara mereka serempak
Di Indonesia saya belum pernah menemukan kesamaan persepsi soal ini, masih banyak aliran atau golongan lain memiliki keyakinan berbeda, alih-alih dianggap bersamaan –antara pemerintahan, golongan nu, golongan mohamadiyyah- ternyata masih ada golongan tidak terkenal momproklamirkan perbedaan keyakinannya. Untungnya golongan besar seperti mohamadiyyah dan nu sering memiliki persepsi sama soal hal penetapan walau kadang berbeda yang secara skala nasional dianggap Indonesia telah berbeda penetapan hari rayanya
Sulit memang menyatukan Indonesia tentang keyakinan penetapan hari raya seperti halnya terjadi di timur tengah. Tidak nu, mohamdiyyah, al-irsyad, dromo gandul, persis dll memiliki keyakinan berbeda-beda soal penetapan, begitu pula alat-alat yang digunakan, seakan penunjukkan menteri agama tidak punya pengaruh besar kepada masyarakat Islam. Itu belum lagi jika kita berbicara per-golongan. Sebut saja nu, jika pengurus pusatnya memutuskan penetapan hari raya tanggal sekian, belum tentu cabangnya misalnya jawa timur menetapkannya bersamaan dengan keputusan pengurus pusat dan tentu saja yang dipusingkan kasus semacam ini adalah masyarakat awam nu
Hingga kini Islam Indonesia belum memiliki panutan yang kolektif soal penetapan hari raya, acara sidang itsbat bikinan menteri agama, atau menerpong pantat bulan atau menghitung-itung dengan jari telunjuk seperti tak ada gunanya justru malah menghabur-hamburkan uang saja, buktinya masih banyak yang berbeda atau seorang pejabat tinggi malah masuk bui penjara gara-gara mendanai sidang atau meneropong itu
Persoalan perbedaan keyakinan dalam penetapan hari raya atau apapun bentuknya sekali lagi tidak selamanya rahmatal lil alamien yang terbentengi oleh agama, namu lebih dari itu yaitu dampak dari sosial kemasyarakatan sebenarnya yang harus diutamakan. SELAMAT HARI RAYA IDUL ADHA, HARI SATE SE-DUNIA