Anda mungkin sudah sering mendengar bahkan melihat dengan mata sendiri baik di media sosial maupun di alam nyata seorang pemuda menginjak-nginjak alqur’an namun dibiarkan berlalu begitu saja. Atau hanya ditegur seperti seorang kena tilang di jalan raya. Sekali lagi karena mereka bukan siapa-siapa.
Isu penistaan agama semakin larut saya cemati menjadi isu yang sangat sensistif. Dan media sosial menjadi ladang mereka untuk mencurahkan uneg-uneg yang kadang kurang bermutu. Lihatkan bagaimana seorang yang mengaku sebagai orang yang islamis – dan tentu faham tentang dosa- menabur fitnah dan kebencian luar biasa kepada orang yang dianggap idiologinya berseberangan.
Dan yang paling memprihatinkan pengkritik melalui medsos tersebut bukanlah orang yang memiliki keilmuan keagamaan sepadan, melainkan hanya orang yang barangkali masih belajar ilmu agama atau memang tidak tahu agama tapi sudah kadung terlalu fanatik terhadap agama. Sehingga justru tingkah lakunya menunjukkan bahwa mereka tidak mengerti ilmu agama
Tengoklah siapa penghujat dan pencemooh seorang ulama alim dari Rembang Jawa Tengah yang tak lain dan tak lebih adalah hanya seorang karyawan yang barang tentu saya yakini memiliki kecakapan ilmu keagamaan minim.
Dan masih banyak lainnya orang -orang yang minim ilmu keagamaan dengan “semaunya gua” menafsirkan aneh-aneh di media sosial lalu menghujatnya.
Pembelaan terhadap agama penting, tapi pengkritikan terhadap ulama yang alim di medsos karena berbeda dalam caranya walau sebenarnya memiliki tujuan sama yakni “izzil islam walmuslimin” yang pada akhirnya menimbulkan fitnah, kebencian dll bukanlah solusi tepat untuk meredam terjadinya penistaan agama, tapi ancaman baru bagi sesama muslim.