Bertemu lalu kejadian. Begitulah kira-kira yang terjadi satu tahun silam saat saya dipertemukan di calon istri saya waktu itu di kediamannya. Tak ada mendung tiba-tiba hujan. Belum ada niatan dan keinginan kuat ternyata memang benar jodoh ditangan Tuhan.

Semua itu bermula dari saudara yang berada di Sumatra sana menanyakan kabar ibu termasuk posisi saya waktu itu. Bukan karena posisi duduk menjadi anggota legislatif yang banyak korupsi, tidak. Saya waktu itu belum punya kedudukan, apalagi pacar. Entah bagaimana sambungan detailnya waktu itu, ibu saya begitu gayeng ngobrol ama saudara di Sumatra sana yang pada akhirnya jeluntrungnya menankan saya dari ujung kaki hingga ujung rambut.
Perihal apa? Saya sudah bisa menebak. Ini soal masa depan. Soal kelanjutan reproduksi warisan dan keturunan. Ternyata benar saya ditanya soal nikah. Sebuah ungkapan yang dulu waktu masih mengenyam pendidikan di pesantren maupun bangku kuliah sangat ngeri. Saya selalu menghindar kalau ada salahsatu kerabat maupun teman yang menanyakan maupun menawari kaitannya dengan nikah dan itu sudah pernah terjadi pada diri saya.

Tapi entahlah kali ini saya sedikit punya nyali untuk melanjutkan penawaran itu. Meski awalnya saya masih sedikit agak takut dengan urusan berkeluarga. Dengan tekat dan support orang tua akhirnya pertengah bulan Februari 2011 saya beserta keluarga membesuk kelurga di Brasan sebagai pihak yang akan saya jadikan istri tentu saja tak lain untuk khitbah antara saya dan calon istri saya.
Prosesnya begitu cepat. Hari Sabtu komunikasi antar makcomblang –penghubung- yang di Sumantra dengan keluarga Persen dan keluarga Brasan. Hari Selasa malam saya dan keluarga kesana. Tak ada persiapan yang ekstra untuk acara moment bersejarah itu. Pakaian saya biasa saja. Demikian juga saya melihat calon istri saya waktu itu juga demikian. Apalagi konon kabarnya dia baru saja pulang dari Malang untuk berlibur bersama kawan-kawan lamanya. Maklum dia sendiri alumni di sebuah pesantren al-qur’an di Singosari.
Saya seperti orang kikuk ketika saya dipertemukan dengan calon istri berduaan. Sebab saya dan calon istri belum pernah ketemua apalagi kenal. Pu demikian dengan calon istri waktu itu juga sama. Dalam ruang tamu itu kami dipertemukan, tak ada yang yang lain kecuali kami dibiarkan berduaan untuk mengobrol. Lalu apa yang diobrolkan? Entahlah saya waktu itu bingung, khitbah yang tebak sebelumnya ternyata meleset dari angan-angan saya. Ternyata saya disuruh mengobrol dengan calon istri berduan di ruang tamu, sembari sesekali sanak keluarga melirik dan menginceng proses khitbah kami.
Setelah dipertemukan, besoknya saya masih berkomunikasi dengan keluarga Brasan menanyakan tentang kemantapan saya terhadap calon istri saya. Demikian juga dia dimintai pendapat soal saya. Alhamdulilah apapun bentuknya akhirnya kami berdua saling ada rasa cinta yang pada akhirnya tumbuh bersemi seperti bunga.
Setelah proses saling legowo, akhirnya saya dan calon istri melakukan komunikasi yang tak begitu lama. Maklum dia sendiri sebentar lagi masih mau mondok ke Bantul untuk melanyahkan hapalan al-qur’annya. Dengan demikian proses untuk saling mengenal lebih mendalam dan dekat terpotong di Bantul. Apalagi dia berada disana tanpa alat komunikasi sehingga menyulitkan saya untuk menghubunginya yang ternyata lambat laun cinta saya bersemi terus menerus.
Setelah satu minggu saya melakukan komunikasi, akhirnya dia berangkat ke Bantul untuk belajar. Di sana saya dapat nomer telephone pondok yang jika suatu saat saya menghubunginya. Karena rasa cinta tumbuh subur, dan kemantaban juga muncul. Akhirnya orang tua saya wabil khusus bapak saya secara mendadak memanggil saya untuk diajak ke sebuah mall. Saya tak tau maksud waktu itu, posisi saya siang itu juga dalam keadaan mengajar siswa. Lalu ada orang datang katanya dipanggil bapak mau diajak belanja.
Ternyata saya diajak untuk beli pineset untuk mineseti calon istri saya. Saya kurang paham dengan tradisi jawa seperti ini. Yang penting ikuti saja kehendak orang tua. Lalu selang beberapa hari, saya diajak ke Brasan untuk acara pinesetan. Padahal dalam tradisi jawa pinesetan itu mestinya juga dihadiri oleh calon istri. Karena masih belajar akhirnya saya seorang diri disana.
Belum ada satu minggu lalu bapak saya wafat secara mendadak karena jatuh dari kamar mandi. Barangkali keingininan untuk menyegerakan acara pinesetan mungkin sebagai usaha ayah saya mengantarkan anaknya hanya sampai situ. Tanpa melihat acara akbar yaitu walimahan. Barangkali pula tanpa tergesa-gesanya ayah saya beli pineset, mungkin juga ayah tidak bisa mengantarkan.
Dan Alhamdulillah pada hari Sabtu kemarin saya melangsungkan akad nikah di Brasan yang disaksikan oleh kiyai-kiyai. Pada satu sisi saya bahagia pada sisi lain saya tidak didampingi oleh ayah saya. Mudah-mudahan pernikahan ini menjadi pernikahan yang diridhoi oleh Allah sehingga mendatangkan barokah, sakinah mawaddah dan warahmah. Amin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top