Ngruat Kemanten

Pada sebuah perjalanan ngantar kemanten, Saya dan Gus Plengen tersenyum agak kecut dikit ketika salah satu kawan bercerita akan didapuk imam ngruat calon kemanten putri. Dalam hal status sebagai generasi zaman now atau menurut istilah orang Porwo hidup di genenari milinial, dalam hati tulus yang terdalam saya  mengelus dada sambil bertanya-tanya sendiri “hari gini masih ada saja ngruat”. Tapi terserah merekalah, itu khan keyakinannya. Hormat tradisi nenek moyang. Lagi pula isinya paling tahlilan, baca yasin. Hanya istilah namanya saja kejawen, tapi ritual dan pelaksanaannya gak jauh-jauh dengan ngajinya orang mati antara baca yasin, tahlil dan berkatan.

pernikahan moh David

Jadi gak perlu dibesar-besarkan. Terlalu besar-besar juga gak baik. Selama tidak melenceng dengan akidah Islam atau syariat Islam gak jadi soal. Banyak soal ya juga bingung menjawabnya. Begitu ngendiko Gus Plengen dalam diskusi di perjalanan nganter kemanten siang itu.

Lalu dimana letak yang kurang ngepas sehinga mengagetkan bagi genenari zaman now? Sebenarnya kalau dipikir-pikir tidak ada yang gak pas selagi yang bersangkutan mampu segalanya. Tapi yang menjadi soal atau disoal kalau yang bersangkutan tak berdaya. Hanya menjalankan perintah nenek moyang, atau mengikuti arah angin maupun keyakinan saja, gak menyadarkan diri kalau bersangkutan bukan termasuk orang berada. Sehingga gak cukup sekedar satu atau dua pengorbanan biaya acara, tapi juga untuk biaya acara ngruat.

Ngruat istilah dalam kemanten menurut kamus besar orang jawa yaitu nyelameti calon manten sekaligus kirim doa leluhur supaya dipermudah dan diselamatkan dari hal-hal yang tidak diingkan selama menjalani kehidupan berumah tangga. Tradisi kejawen sebenarnya punya makna historis sosioligis yang kadangkala perlu dilestarikan selama gak menyimpang dengan agama. Cuman belakangan ini tradisi kejawen hanya tinggal sejarah dan cerita-cerita yang terlupakan. Padahal disitu tersimpan beberapa makna yang perlu digali untuk generasi milinial.

Akhirnya Gus Plengen sadar betapa pentingnya mempertahankan tradisi ataupun budaya masing-masing tempat selagi masih singkron dengan agama. “Lalu sekarang kenapa orang ngruat banyak terlihat asing?” Tanya Gus Plengen sambil keherananan. Menurut saya terasingnya istilah ngruat terkontaminasi oleh gaya hidup masa melenial yang serba instan. Ke dua, generasi milinial cenderung menikmati hidup modern di zaman yang viral dengan modern. Orang modern ogah dengan istilah-istilah kedesitan -deso-. Ini anomali, tapi nyatanya gak terbantahkan. Anda bisa lalukan survai sendiri di desa saya. Berapa banyak generasi sekarang ogah ikut orang tuanya bertanam padi atau garap sawah miliknya. Lalu pada akhirnya generasi persawahan alias petani kian sulit ditemukan. Mencari buruh untuk  nanam padi sekarang sulitnya gak karuan. Dan begitu sebaliknya mencari orang yang sedang main hp sambil wifian sangat mudah ditemukan.

Lalu Gus Plengen dawuh “hidup ini semakin lama kian hampa, generasi old banyak bertumbangan termakan usia, sementara generasi now semakin terus bertambah ”. “Lho maksudmu gimana Gus?” Timpal saya yang gak ngerti alur pemikiran Gus Plengen yang sulit dipahami oleh mahluk normal kalau sudah mulai berfilosofi. Sambil menikmati perjalanan nganter kemanten yang kian bergelombang jalannya, Gus Plengen diam lama seolah terlihat berpikir dalam dan ingin menjawab dengan filosofi yang sulit diartikulasikan itu, namun sayang belum terjawab, perjalanan panjangn nan jauh itu sudah keburu tiba ke lokasi akad nikahnya David

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top