Baru-baru ini Banyuwangi menjadi kabupaten di Jawa Timur yang menduduki rangking satu tingkat perceraian. Setidaknya di desa saya saja ada 18 perceraian dalam kurun waktu satu tahun belakangan ini. Perkembangan ala budaya dan produk Barat maupun metropolis? tersebut telah menjelma dalam ruang lingkup pedesaan semakin ngetren. Angka perceraian ini mengubah segalanya soal budaya desa yang dulu konon menggap perceraian adalah hal aib.
Tentu saja ada banyak hal yang melatar belakangi tingkat perceraian ini semakin menjadi-jadi. Pertama, ekonomi. Faktor ekonomi menjadi dominan diantara lainnya. Ekonomi adalah ruh dalam kehidupan yang akan menuntun sebuah keluarga akan bahagia atau sebaliknya. Walaupun dalam ranah agama, ekonomi bukanlah hal ekstrim, selain memang maisyah dalam keluarga merupakan janji Tuhan.
Namun dalam realita kehidupan, ekonomi adalah hal absolut dari preoritas lainnya -dalam anjuran agama- yang tak bisa kita elak. Sehebat apapun seseorang, tanpa dukungan ekonomi memadai juga akan kelabakan. Dari sini tingkat perceraian di Indonesia atau yang saya amati di daerah saya sendiri Banyuwangi semakin marak.
Faktor kedua adalah perselingkuhan. Berkembangnya teknologi yang saat ini sebagian besar sudah dinikmati warga pedesaan seperti handpone, dunia pertemanan maupun mikro blogging (fb, twitter dll) telah membuka cakrawala baru warga desa mengubah gaya hidup. Informasi yang masuk bebas tanpa saringan dan acara televisi yang tidak mendidik saat ini banyak ditiru oleh warga. Kita tak bisa pungkiri acara gosip televisi yang menayangkan perceraian artis, perselingkuhan dalam drama/film sedikit banyak mempengaruhi gaya hidup warga desa.
Faktor ketiga yang saya amati adalah pernihakan dini. Meski mengandung banyak resiko, namun dalam lingkungan desa sebenarnya nikah dini bukanlah hal baru. Hanya saja pengaruh informasi yang kenceng dan adanya budaya baru, pernikahan dini sekarang kurang mendapatkan tempat dan bahkan ditakuti. Tapi tetap saja kalangan kelas awam desa menikahkan anaknya di bawah umur masih berlanjut yang pada akhirnya gagal karena terjadi perbedaan prinsip dan sikap kurang dewasa dalam memahami bahtera rumah tangga
Puji syukur tuhan, walau angka perceraian melonjak tinggi, tingkat kesadaran warga lain untuk intropeksi diri dalam mengatasi soal ini juga tinggi. Paling tidak ada bebeberapa komunitas yang membantu memecahkan persoalan keluarga ini. Salah satunya adalah komunitas yang memberikan bantuan moral atau istilahnya memidiasi dua belah pihak supaya keluarga tetap utuh.
Pada kasus lain meningkatnya angka perceraian ini membuat sebagian pengacara laku. Kasus jual beli pengacara di desa juga menjadi tren publik yang tak terlewatkan. Seorang kawan saya yang sedang memproses perceraiannya telah membayar pengacara sebesar dua juta setengah. Padahal pada masa dulu untuk ukuran pedesaan, perceraian tak se sesulit saat ini yang musti harus ke pengadilan.
Lalu kalau sudah banyak perceraian gini, adakah yang salah dengan alam? Atau ini memang sudah takdir dari yang maha agung? Mumet juga memikirkan. Yang jelas ada satu hal yang mambuat hati ini pilu, perceraian itu akan membuat anak sengsara, toh kalau pun bahagia, kebahagiann itu tak pernah akan sempurna karena ada yang kurang.