Belum usai kisah pilu yang menimpa tetangga sebelah, kemarin gempa dengan kuatan 8,9 SR yang diikuti tsunami menggunjang wilayah Jepang. Nampaknya ini zaman semakin tak menentu dengan segudang amunisi yang tersembunyi. Musim tak bisa diterka semena-mena. Mana musim panas, mana musim hujan semuanya berubah menjadi satu titik kesimpulan “musim penghujan”.

Akhirnya rakyat jelata,  kaum buruh, masyarakat tani menjerit kesakitan karena “teramputasi” oleh kondisi alam yang serba nisbi. Adakah yang salah dengan kaum tani? Lalu dimanakah letak kebenaran kaum berdasi? Wakil rakyat yang duduk di sana-sini yang selalu dihomarti dan kadang suka belanja di tempat protisusi? Entahlah.

saudara melangsungkan tukar cincin

“Dunia ini barangkali sudang terbalik mas” Ceplos Mbah Man, warga Madiun yang mengembara lama disini. “Kok bisa mbah”? Sambil ngopi sebagai minuman kegemarannya, Mbah Man lalu menarik nafas, seolah ingin menjelaskan panjang lebar tentang situasi terkini yang terjadi di desa Persen. Matanya lalu menerawang tajam ke depan, laki-laki tua yang masih jomblo ini lalu membuka suara.

“Gak usah jauh-jauh, orang hamil di luar nikah saja di desa umbrukan/banyak. Dan itu sudah dianggap” bukanlah hal tabu lagi. Percerain juga gitu, seperti kawin lari. Mungkin ini mas penyebab banyak orang sekarang di adzab”.

Pudarnya tradisi lama juga mempengarui pada tatacara orang yang akan melangsungkan pernikahan. Dalam aspek ini orang juga menganggap meninggalkan sesuatu yang sudah diikat (ditali) dalam jelang pernikahan dengan mudahnya juga untuk dilepaskan kembali. Metode tradisi yang jauh dari zaman dulu.

Seperti yang terjadi di desa saya kemarin, ada tetangga yang melepaskan tunangannya gara-gara masalah teknis. Permasalahan ini dipicu oleh ketidaksiapan calon istri yang mengalami depresi karena uang yang sudah ditabung habis dimakan keluarganya dan baru kedeteksi uang tersebut menjelang satu bulan resepsi pernikahan. Padahal pihak si calon istri menurut sumber-sumber telah mengkonfirmasi awal ke tukang dekor, salon dll.

Melihat situasi yang demikian akut, plus depresi yang hebat dari pihak calon istri tentu saja membuat calon suami melepaskan ikatan pernikahan itu. Ini barangkali bagi calon suami adalah solusi tepat karena jika tidak, demi masa depan keluarga, kawin sama orang stress/depresi sama saja bunuh diri. Tapi pada sisi lain ini juga keteralaluan. Karena di saat calon istri butuh perhatian, motivasi dari calon suami atas musibah raibnya uang calon istri mestinya sang calon suami tidak serta merta melepaskan ikatan pertunangan yang sudah berlangsung tiga bulan tersebut. Kudu dipertimbangkan masak-masak dulu.

Ibaratnya bagi calon istri, sudah jatuh ketiban tangga. Sudah kehilangan uang, stress,  dilepaskan lagi ikatan pernikahan itu.

Yah memang repot zaman sekarang. Repot segalanya. Mengambil istilahnya Mbah Man, jadi orang tani itu serepot-repotnya manusia, hidup gak pernah untung. Kalau rugi sudah keseringan. Lho lantas enaknya jadi apa yah Mbah Man? Jadi Ogo-ogo aja

Inilah musibah zaman sekarang, tidak tsunami, gempa, akad pernikahan, orang tani, perceraian, semuanya berpotensi sama

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top