Tak terasa ternyata aku sudah berada diujung hari raya Idul Adha, yang akan dirayakan besok, dalam benak diriku wah cepet sekali hari, masih terasa suasana Idul Fitri tiba-tiba Idul Adha menyambut.
Meski tidak berhari raya di kampung halaman, bahkan sudah bertahun-tahun aku tidak merayakan Idul Adha di rumah, semenjak aku berada di pesantren hanya satu kali aku merayakannya yang saat itu aku mengabdi di ma’had. Masih terngiang dalam ingatanku, jika Idul Adha tiba pasti besok akan mayotr sate, makan daging terus, dan siap-siap untuk sakit gigi.
Hari raya Idul Adha di kampungku berbeda dengan suasana di daerah lain, jika daerah lain cuman merayakannya dengan menyembelih sapi atau kambing, namun di kampung halamanku tidak hanya itu saja, melainkan mengelencer (jawa) atau silaturrahim ke rumah-rumah tetangga persis suasana hari raya Idul Fitri
Tradisi ini muncul ketika hari adanya perbedaan hari raya Idul Fitri tahun 1995 lalu saat itu, belum ada pengumumang dari pemerintahan (karena pemerintahan menetapkan hari raya jatuh besoknya) sementara sebagai warga nahdliyien, tradisi yang masih berjalan yaitu menetapkan hari raya menggunakan ru’yah.
Waktu itu masyarakat sekitar sudah yakin dan menganggap besok masih puasa, eh ternyata tepat pukul dua malam rumahku mendapatkan informasi dari NU Banyuwangi bahwa bulan Syawal sudah bisa dilihat, jadi hari ini sudah hari raya dan besoknya sholat Idul Fitri, tentu saat itu membikin warga kecewa, sebab sesuai tradisi di Desa, jika datang jelang hari raya Idul Fitri malamnya ramai sekali, mulain menyambut dengan karnafal -takbir keliling- yang biasanya dikoordinasi oleh NU setempat, begitu banyak masyarakat yang ikut takbir keliling dan pasti tak menutup kemungkinan menelan korban.
Karena waktu itu informasi nyampai pukul dua malam,
akhirnya masyarakat setempat tidak bisa merayakannya dengan takbir keliling hanya dirayakan di masjid or di mosholat2 saja, sehingga waktu itu terjadi inisiatif jika waktu hari raya Idul Adha digunakan untuk mengganti dari rasa kecewa warga hari raya Idul Fitri.
Nah dari itulah akhirnya masyarakat sekitar sujutu dan setiap menjelang hari raya Idul Fitri di Desaku ramainya persis seperti hari raya Idul Fitri, malam ada takbir keliling dan besoknya selain ada penyembelihan korban juga ada silaturrahmi ke rumah-rumah yang biasanya terjadi hanya pada waktu Idul Fitri, tradisi itu hingga sekarang masih ada.
Hari raya Idul Adha mengingatkan kita ketika nabi Ismail disembelih oleh ayahnya, ini mengindikasikan jika hari raya ini sebenarnya memiliki nilain plus ketimbang hari raya Idul Fitri, bahkan dalam sebuah catatan bahwa hari raya Idul Adha lebih besar -akbar dari hari2 raya lainnya, namun mengapa orang-orang di daerah kita atau masayarakat kita merayakannya dengan biasa-biasa saja, malah kebanyakan mereka mengkultuskan hari raya Idul Fitri?
Dalam tulisannya si Luthfi Assyaukanie, aktivis JIL dalam di Media Indonesia hari ini menyatakan jika hari raya Idul Adha adala hari raya besar kedua setelah hari raya Idul Fitri, aku tidak sependapat dengan pandangannya, pandangannya aku anggap sebagai opini salah, yang benar adalaha Idul Adha adalah hari raya terbesar, karena raya ini berkaitan dengan hari kemanusiaan atau sosial -ketia Ismail disembelih oleh Ibrahim.
Selamat hari raya Idul Adha, selamat bersosial sesama manusia dan aku rindu akan kampung halaman,