Membangun Nasionalisme Lewat Sepak Bola

Seandainnya tuan rumah tadi malam (jum’at, 16/10/09) maju hingga final, pasti seluruh kursi stadion terisi penuh. Apalagi finalnya tadi malam bertepatan dengan hari libur nasional. Saya bisa pastikan seluruh jagat warga sini akan ikutan partisipasi, baik melihat secara langsung di stadion maupun lewat televisi. Seorang kawan pernah berdoa; semoga tuan rumah melaju hingga akhir final. Seorang kawan lain juga berapologi sambil berharap; kalau nanti tuan rumah hingga ke final saja, pasti lebih dahsyat, aura batin, suasana, emosi jagat warga sini akan tercurahkan pada pertandingan.

Belum sampai pada titik penghabisan pertandingan (final), harapan warga, keinginan simpatisan dan pendukung berat itu kemudian menjadi ilusi saat tuan rumah ditekuk tim non unggulan Costa Rica. Sudah bisa dibaca bagaimana aura warga ketika tuan rumah harus berakhir di awal fase grup, semula televisi (art) menyiarkan secara eksklusive pertandingan, lalu menjualnya (berbagi) ke televisi lain termasuk free air, dentuman lagu “ya misr” yang biasanya menghiasi pemirsa saat jeda iklan, menghilang begitu saja. Lalu kafe-kafe menjadi sunyi, dan juga tak ketinggalan stadion sunyi penonton ketika tim lain saling berhadapan

pendukung ghana sedang bersorak/a.burhan

Tadi malam bisa dikatakan sebagai akhir laga tim terbaik saling berhadapan. Brazil dan Ghana bertemu dalam final piala dunia U-20. Panitia nampaknya harus bersyukur, kursi stadion tadi malam nyaris penuh. Ada 67 ribu lebih dari jumlah 80 ribu kursi menjadi saksi nyata pertandingan antara Brazil dan Ghana dan merupakan laga peraih rekor jumlah penonton untuk non tuan rumah (laga terakbar dengan 80 ribu penonton saat tuan rumah berhadapan dengan costa rica)

Padahal banyak kawan menilai laga final kemarin itu tak bakalan mengundang antusias warga pribumi nonton di stadion. Perhatian saya sama; sepi penonton. Hingga menjelang magrib, arus jalan menuju pintu utama stadion masih sunyi, segelintiran warga asing – Indonesia- saya lihat saling ngobrol lebih mendominasi.  Nampak dari jauh puluhan keamanan lengkap dengan senjata sedang memeriksa satu persatu warga yang akan masuk stadion.

Seorang kawan nyeletuk; pendukung banyak dari Indonesia. Ada pula menganologikan; antrian JS (jamiah syariah) dipindahkan ke stadion untuk mendukung, meramainkan laga final. Memang sepanjang antrian menuju pintu masuk, nyaris wajah-wajah orang Asia termasuk Indonesia yang nampak,  sisanya saya lihat orang berkulit hitam,  sebagian warga Ghana maupun hanya pendukung Ghana karena memiliki emosional sama-sama berkulit hitam

Keprihatinan saya hampir benar, di dalam stadion banyak kursi kosong, tiket seharga 10 pound, bisa duduk santai di kelas tingkat satu yang katanya dijual 125 pound. Seorang kawan merasa bahagia bisa duduk di tempat dekat dengan lapangan, menurutnya datang menjelang magrib sebentuk apapun kondisi penontonnya sangat mustahil terjadi, karena waktu-waktu seperti itu pintu menuju tingkat satu sudah tertutup, tinggal lantai atas stadion yang masih terbuka

Ada beberapa alasan barangkali yang menyebabkan pintu-pintu masuk itu menjadi sedikit bebas. Pertama, berawal dari Sedikitnya penonton, walau pada akhirnya menjelang laga final membludak penuh.  Kedua, kesuksesan menyelenggarakan sepak bola seakbar piala dunia U-20 salah satunya bisa dinilai dari banyaknya penonton yang hadir di stadion, supaya tidak dikatakan gagal, Mesir sepertinya –lewat keamanan- melonggarkan pengunjung memasuki segala pintu stadion, sebab dengan terisinya tingkat satu, maka akan terlihat stadion pada tingkat itu rata penonton

Menjelang laga Costa Rica dan Hungaria yang pada akhirnya dimenangkan Hungaria lewat adu pinalti dalam merebutkan juara ke-3, kursi stadion lambat laun menjadi terisi dan nyaris penuh. Pendukung konservatif Ghana berdatangan sambil berlumuran cat bendera Ghana. Jadi bisa dikatakan warga kebanyakan ingin melihat laga final antara Brazil dan Ghana ketimbang laga memperebutkan juara ke-3 yang sama-sama dihelat di satu tempat itu

Nasionalisme Tinggi

Joseph S. Blatter (presiden FIFA) yang tadi malam hadir sepertinya bahagia melihat antusias warga pribumi menyaksikan laga final dipenuhi penonton yang pada akhirnya mengantarkan Ghana menjuarainya lewat adu pinalti. Ustad Nadhief (perdana menteri sini) yang mewakili presiden Mesir Hosni Mubarak kayaknya juga berharap bahwa Mesir layak dipertimbangkan untuk menjadi calon tuan rumah piala dunia 2020. Apalagi akses jalur menuju ke stadion internasional saat ini sedang dibangung kereta bawah tanah yang konon satu diantara syarat menjadi tuan rumah piala dunia

Warga sini memang punya nurani tinggi terhadap sepak bola. Rasa nasioanalismenya tinggi saat negaranya punya hajatan. Jangankan sepakbola, suatu ketika, saat saya berada di kafe, puluhan orang sedang tegang menyaksikan negaranya bertanding bola voli. Image saya selama ini yang lebih emosional melihat bola, akhirnya terpatahkan, bahwa warga pribumi memiliki emosi kuat dengan negaranya dalam semua aspek olah raga. Lebih luas lagi –dalam cabang olah raga- mereka sangat proposional, pertadingan tadi malam merupakan bukti nyata bahwa hampir penghuni tempat duduk adalah warga pribumi

Kita bisa merasakan aura nasionalisme itu saat Mesir sedang bertanding sepak bola, atau dalam ranah regional , mereka sangat fanatik dengan klub-klub sini terutama dua klub besar, Ahly dan Zamalik. Saat kedua klub tersebut tanding, hampir warga pribumi menyaksikan dengan emosional walau lewat televisi, tukang taxi juga tak mau ketinggalan, mereka berusaha mendengar lewat siaran radio

Saya mengamati lebih jauh, sebenarnya nasionalisme mereka bukan hanya terbatas pada olah raga atau sepak bola, dalam maslahatan sesama warga terutama untuk negaranya mereka sangat luar biasa. Mengapa dalam waktu relatif cukup singkat Mesir bisa bangun dari krisis global, mengapa pencurian di sini bertaburan waktu dunia dilanda resensi keunganan dalam tempo singkat kriminilitas itu bisa berkurang? Setidaknya kasus untuk warga asing sudah tidak menggelishkan. Sekali lagi ini tak lain karena nasionalisme mereka tinggi

Kita bisa membayangkan bagaimana mungkin sebuah ibu kota,warganya dengan cuek naik vespa berkeliling jalan raya besar lalu menyetel lagu pribumi dengan keras. Bagaimana mungkin seorang kantoran, dengan bingkaian baju berjas dan dasi makan full di pinggir jalan lalu minum air mentah. Dan masih banyak nasionalisme itu nampak, seperti rata-rata mobil sini terdapat alqur’an

Bedakan dengan negara kita, saat dunia dilanda krismon 1997, Indonesia merupakan negara yang terlama bisa bangkit dari keterpurukan itu. Justru negara yang dulu mengemis ke Indonesia seperti Malaysia, Singapura dengan cepat mengembalikan stabilitas perekonomiannya, malah dalam rentang waktu sebentar, dua negara tetangga itu saat ini menjadi basis perekonian dunia di Asia Tenggara

Personalannya bukan banyaknya pejabat yang KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) yang menjadikan alasan Rezim Orba akhirnya tumbang. Di negera-negara berkembang KKN hal yang wajar, korupsi memang tak terhindarkan dalam dunia birokrasi, tidak ada yang jujur di pemerintahan ini kecuali ingin miskin. Walau secara investigasi, birokrasi Indonesia saat itu  dan barangkali hinggi kini memang keterlaluan. Korupsi dan utang melampui kemampuan sumber daya alam

Namun persoalan utama menurut saya adalah miskinnya rasa nasionalisme. Kita terlalu mengikut trend negara-negara yang sudah berkembang dan mengabaikan sumber daya alam yang kita miliki. Dalam contoh kecil, kota sebesar ibu kota Jakarta,  akan sangat sulit melihat orang mendengar lagu produk dalam negeri, kecuali warga terpinggirkan. Mereka lebih menyukai lagu/film luar negeri, alasannya cuman satu; ingin mengikuti perkembangan jaman. Belum lagi dengan aksesoris lain seperti merek sepatu, baju dll, apalagi orang kelas atas jangan berharap suara M Salim dari Maspion Groups yang pernah membahana dengan ungkapan “Cintailah Produk Dalam Negeri” itu ada

Dalam dunia sepak bola, setali dengan keungan, Indonesia masih kembang-kempis. Tak pernah negera kita menjuarai turnamen bergensi di Asia apalagi ikutan partisipasi dalam piala dunia (cuman satu kali Indonesia mengikuti piala dunia itupun katanya banyak diperkuat orang belanda). Sekali lagi ini bukan karena faktor orang Indonesia kecil-kecil, bukan karena makanan orang Indoensia nasi yang katanya bikin lemas, dan bukan seratus persen karena infra struktur kurang memadai. Akan tetapi ini masalah nasionalisme, baik dari pemain, warga dan pemerintahan.  Kita bisa merasakan bagaimana negara kita saat sedang berjuang di piala Asia sementara warganya sibuk bertengkar lewat forum menyoalkan liga English akan ditayangkan oleh televisi prabayar

Itulah mengapa nilai tukar rupiah terhadap dollar hingga kini begitu sulit untuk kembali ke jalur biasa seperti tahun akhir 1997 lalu yang mencapai 2500 rupiah/dollar. Itu pula penyebab sepak bola Indonesia mandul di kancah internasional

Sabtu, 17/10/2009

One thought on “Membangun Nasionalisme Lewat Sepak Bola

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top