Segenap teroris rumah menyatakan ikut belasungkawa atas kejadian yang menimpa lampu neon di siang hari, saya atas nama pengrusak akan mengikrarkan diri menanggung segala kerusakan tanpa syarat apapun dari yang berhak, jika saya tidak menepati janji maka saya sanggup dimasukkan dalam skandal manusia yang bertipe tak berperasangka, kata “Ibnu Si Raja Tega”

Tak kusangka ternyata lampu neon yang beberapa hari lalu aku beli dengan harga 15 pon telah pecah, kejadiannya cukup singkat, namun menyita perhatianku dan temanku yang membuat lampu neon itu pecah, saat aku sedang belajar, tiba-tiba si Ibnu dengan gagahnya membuka baju, seketika pula dia menyium lampu neon yang berada diatasnya. “Dar” suara itu menggema seolah membuat kejadian penting di kamarku, yang sebenarnya pada saat itu sunyi karena semuanya pada kosentrasi belajar muqorror pelajaran. Tak ada yang harus aku perbuat, semuanya sudah terjadi, bagaimana mungkin aku akan melerai atau mengingatkannya, aku tak tahu apa yang akan terjadi, seandainya aku tahu sebelum perisitiwa itu, pasti aku akan mengingatkannya

Dalam hari itu aku siarkan kekhyalak ramai di rumah, bahwa pada hari ini kita telah kehilangan salahsatu pembantu kita, teman kita yang setiap kita belajar selalu menemani dengan baik, memberikan jalan untuk melihat dan sebagainya. “Lampu kita sudah tiada”. Sahutku pada si Mumu, dengan suara dan jawaban seolah tak punya beban dia hanya tersenyum pahit sambil menerasapi kejadian yang tidak dia ketahuinya. Biarlah yang berlalu, tinggalkan dan cari lampu lain barangkali masih ada lampu yang lain, kilahnya.

Tiada yang banyak mengetahui tragedy yang cukup membuatku ketakutan, aku tak banyak berbicara, mulutku sudah lemah untuk berbicara dan tak ada gunanya, aku ikut partisipasi untuk mengambil berkas-berkas kotoran bekas lampu itu. Dengan memandang lampu tinggal kerangkanya itu, aku terdiam, menyengat dan menjilat ada sebuah suara langit atau itu berasal dari lampu itu ya”, perasanku. Aku tak mengnyangka ternyata lampu itu tak menerima dirusak orang lain, dia secara alamiyah memintaku untuk dibenahi lagi, tapi apa mungkin lampu, kataku kata lampu. “Aku harus hidup lagi, kebahagiannku hanya ketika menerangi manusia, jika peneranganku tak dapat lagi dinyalanyakan aku akan sakit, kasihan kepada teman-teman di bumi yang membutuhkanku lampu untuk tujuan hidupnya

Nasi sudah menjadi bubur, apapun kejadiannya itu adalah sebuah kecelakan, bukan kesengajaan, aku akui peluru dan bom atom dari tubuh Ibnu bin Joko itu telah meluluhlantahkan permata intanku dengan jalan dan nuranu tanpa kesengajaan, tanpa dilakukan dengan unsure sara, dan emosional. Aneh tapi nyata, mengapa harus terjadi pada hujrati jannati, bukankah kamarku tak berpenyakit malah tak berbuat dosa sama sekali, mereka telah memberikan nikmah bagi orang yang mendiaminya, mereka tak berdosa, yang berdosa adalah manusia yang diberikan dosa dan memang suka untuk membuat dosa-dosa.

Lampu neonku yang malang, ungkapan yang selalu menjadi dzikirku paska trgedi, sholatku telah berubah dari atas nabi keatas teroris kelas wahid si Ibnu, aku selalu berdoa memberikan ketabahan hati, ketulusan moralnya untuk bertanggung jawab atas kecelekaan itu. Aku tak mungkin mengeraskan suaraku, sekiranya tindakan ganjilku itu sudah cukup mewakili dia untuk menuntut tregedi memilukan itu. Entah apakah dia mampu untuk menyaring perasanku, aku kira dia sudah dewasa dalam menggunakan otaknya untuk mengasah dan berfikir apa yang hendak dia lakukan. Tak usah seperti pimpinan kepada prajurit pada battalion kemilitiran, justru akan memperparah keadaan, serta merenggangkan persoalan hangat menjadi panas

Lampu neon sekarang telah berteman dengan tong-tong sampah, berbaur dengan lusuhan berkas makanan dan kotoran-kotoran dari berbagai makhluqq hidup. Apapun itu adalah resiko dari lampu neon, karena memang dia adalah sebuah keadaan yang tak terhormat tapi memberikan keindahan jasa kepada manusia, jasa-jasanya tak bisa ditembus hanya dengan uang, wanita cantik, dan keduniaan, tapi semuanya adalah merupakan hadiah untuknya, sayang dia adalah benda mati yang tak bisa bergerak, jika dia seorang makhluq dan bisa berkomunikasi dengan manusia, aku akan berterima kasih dan aku akan selalu memberikan makanan, memberikan segumpal kenikmatan yang tiada tara.

Lampu neon telah meninggal dunia dalam kecelakaan maut dengan makhluq manusia yang suka dengan dosa-dosa, makhluq dengan segala kemampuannya telah mengilhami untuk berbuat semena-mena dengan benda-benda yang pada hakekatnya telah menginfistasikan hidupnya untuk manusia, hanya kecengokakan itu sekiranya telah merepotkan manusia untuk tobat dan merengung untuk berkata terima kasih. Kejadian yang sarat dengan ketidaksengajaan itu sedang memberikan pencerahaan dalam berfikirku, meninggalkan persoalan lama menuju kehidupan ke depan.

Merealisasikan lampu dengan mengganti adalah partisipasi tiada tara, bentuk solidaritas atas jalannya otak di kepala. Karena jika otak dan semua daya keindahan yang dimiliki manusia sudah hilang dan musnah, maka itulah matinya manusia yang haqiqi, dan akan selamanya berada dalam dunia fana. Tuhan akan menolak untuk masuk dalam lembah surga. Tidak ada tempat untukmu berada di surga, neraka itulah kenikmatanmu sepanjang waktu, kata Tuhan dalam sebuah firmannya

Bawwabah 1 2005

Agus Romli

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top