Alat transportasi apa yang saat ini pas untuk dinaiki di negeri seribu menera ini? Delapan puluh coret, dua pulu empat jim atau enam sembilan? Seorang dukun dengan segala titel “tetek bengeknya” berapologi soal ini. “Jika kalian ingin berpergian kemana-mana naiklah taxi. Jangan enam sembilan, dua empat jim apalagi delapan puluh coret, kalau kalian tidak ingin kehilangan momentum sedetikpun”.
Mbah Ketut saat ini memang sudah berumur sembilan puluhan. Kebiasan muda yang fanatik naik delapan puluh coret sudah terganti dengan alat transportasi baru “taxi”. Maklum sudah tua, Jalan saja sudah pakai tongkat berkepala ular naga. Meski tua tapi beliau tergolong kelompok tua dengan reputasi muda. Salahsatu yang menjadi semboyan di waktu tuanya adalah bagaimana tetap eksis dalam menggapai keduniaan, termasuk bagaimana agar kebiasaan manis dulu menggaet “serdadu-serdadu” wanita tetap diminati oleh perempuan muda dengan latar belakang cantik
Begitulah kalau sudah tua-tua keladi, makin tua akhirnya menjadi-jadi. Bukan hanya soal sahwat, aksesoris hidup di masa penantian datangnya malaikat penjabut nyawa masih sempat-sempatnya mencari kenikmatan dunia yang tiada berujung. “Hidup ini harus dinimati nak, dulu waktu masih aktif menjadi coverboy, lantas akhirnya beralih profesi menjadi dukun dan pada waktu bersamaan didaulat menjadi penceramah, saya masih tetap melakukan transaksi “cewek” walau waktu itu sudah mendapat gelar ustak. Maklum hanya ustak pada sebuah lembaga pemasyarakatan (LP) di Madaeng Surabaya, jadi kurang berpengaruh bagi kepribdian saya”. Kenang Mbah Ketut seperti tak menyesali perbutannya hingga kini
Mbah Ketut asal Bali ini pernah mengenyam studi di Al-Azhar bertahun-tahun namun tak kunjung selesai sehingga memaksakan Ketut hidup lama di negeri seribu menara –meski pada masa sisa hidupnya Mbah Ketut kembali lagi ke negeri seribu menera -. Selama hidup di sini asam, manis dan kecut sudah pernah ia raih. Cita-cita studi ke Al-Azhar ingin menjadi dosen terbang di belahan dunia gagal total disebabkan oleh nilai akademisi yang terus mafsul -puluhan kali- berturut-turut, lantas kemudian segala usaha dan pekerjaan ia lakukan termasuk menjajaki ikut kontes coverboy pada majalah dewasa disini
Tuhan berbuat adil, kegagalan studi ingin menjadi dosen terbang telah diganti dengan diterimanya menjadi sampul majalah dewasa berbahaya itu. Ia bersykur karena studi puluhan tahun yang diikuti kegalan itu telah menelan biaya hidup banyak. Ia merasa bersalah kepada orang tuanya yang sepanjang tahun terus mengirimi fulus demi “studi” tanpa henti. Baginya yang terpenting waktu itu bagaimana hidup tanpa kiriman orang tua
Dari sini Ketut muda mulai mengenal dunia gelap. Malam berganti siang dan siang berganti malam. Kucuran fulus dari majalah dewasa itu telah merubah gaya hidupnya. Ia mulai mengenal sebuah klub diskotik kelas wahid dipinggiran sungai Nil. Saben malam bersama dengan dede-dede penghibur berlenggak-lenggok mengikuti lantunan sholawat disko ocehan Nawal. Dengan minuman anggur yang memabukkan serta perubahan kosa kata yang ia lakuan, seolah-olah ia lupa sebagai anak yang dilahirkan dipinggiran pelosok gunung sekaligus lupa sebagai mahasiswa Islam Al-Azhar
Namun kehidupan glamor itu tak bertahan lama. Sebuah pesan pendek dari Indonesia masuk ke Inboxnya di siang bolong. Ada berita besar yang membuat Ketut muda pilu serta dituntut untuk sesegera mungkin pulang menuju kampung halamannya. “Bapak ibu anda telah dipanggil oleh yang kuasa..!” Begitu isi pesan pendek yan ia terima
Sebagai anak tertua, tidak ada hal yang harus ia perbuat kecuali segera mungkin balik ke kampung halaman untuk menengok jenazah kedua orang tuanya yang akan dikebumikan. Kucuran dana dari majalah berbaya itu ia cancel alias memutus kontrak yang tersisa. Karena disana –kampung halamannya- masih ada beban berat yang jauh lebih penting yaitu membiayai hidup ketiga adiknya yang masih kecil
Karena kontrak dengan majalah dewasa sudah putus, otomatis tidak ada kucuran dana segar lain untuk kehidupan Ketut beserta biaya kehidupan tiga adiknya kecuali ia harus memutar otak seribu kali. Sayang ia tak punya ketrampilan menonjol, pendidikannya hancur lebur, bakat qori’ tinggal impian dan ketrampian akting di depan kamera yang ia perankan di majalah dewasa itu hanyalah ujian. Akhirnya dengan sedikit terpaksa ia menekuni dunia perdukunan yang ia rasa jalur paling mudah mencari nafkah ketimbang lewat akademisi
Lewat jalur ini –dukun- ketut lagi-lagi mendapatkan nikmat tiada tara. Tuhan kembali berpihak padanya. Seperti halnya ia pernah bekerja pada sampul majalah dewasa, disini ketut mulai dikenal orang. Ribuan orang dari berbagai pelosok desa berbondong-bondong ingin berobat ke Ketut. Kata orang Ketut titisan Fir’aun (merujuk studi Ketut yang pernah ke Mesir). Ketut menjadi kaya mendadak, adik-adiknya yang biasanya jualan permen dipinggiran jalan kehidupannya mulai berubah. Ketut waktu itu laksana dukun cilik Ponari yang belakangan ini menghebohkan warga Jawa Timur itu “mendadak sakti”
Puluhan tahun Ketut tetap eksis lewat jalur perdukungan. Walau pasiennya tak seheboh tahun-tahun sebelumnya, namun Ketut tetap bisa menghidupi diri dan ketiga adik-adiknya yang sudah mulai tumbuh dewasa. Dari ketenaran itu Ketut ditawari oleh petugas lapas Madaeng Surabaya untuk menjadi penceramah bagi para tahanan. Maklum ketut kata orang juga jebolan universitas Al-Azhar Mesir –padahal tidak sampai tamat- jadi menurut mereka layak untuk member siraman rohami
Setelah usia semakin senja, Ketut mulai berpikir untuk pensiun dari aktifitas baik sebagai dukun maupun penceramah. Lagi pula tugas menghidupi ketiga adiknya dirasa sudah selesai mengingat mereka saat ini pada berkeluarga dan memiliki pekerjaan tetap. Anehnya Ketut yang telah berkepala delapan masih ngotot ingin kembali ke negeri seribu menara, ia ingin menikmati sisa hidup dan tentu saja ingin menyelesaikan pendidikan yang sempat berantakan oleh ekonomi keluarga. Akan tetapi kembalinya Ketut di negara perantauan masih tetap seperti sedia kala. Ia masih glamor dengan kehidupan dan suka main wanita. Maklum di usia senja Ketut belum pernah nikah. Kesukaan blusak-blusuk rumah bordil tetap ia minati walau sudah tak berumur lagi
******
Kehidupan Ketut yang suka hura-hura dan mengabaikan tujuan utama telah mengilhami generasi melenium serta calon penerus bangsa berbuat overdosis melampai apa yang ia punya. Tidak harta, bahasa dan aksesoris lain “seakan” bersaing di ranah kehidupan akademisi. Akhirnya beground seorang pelajar Islam yang lekat dengan membaca, berdiskusi dan nerimo apa adanya berganti bak arah angin
Pada sebuah kesempatan seorang senior penah berbincang-bincang dengan saya. Doktor jebolan Al-Azhar itu bercerita banyak soal perbedaan corak kehidupan mahasiswa tempo dulu dengan sekarang. Sembari membenarkan posisi duduk, saya mencoba mengikuti dengan khusuk. “Jadi gini, kalau dulu orang diam di rumah itu sedang belajar, menghafal dll, sekarang ini kayaknya berbeda…!” Doktor itu tidak melanjutkan perbincangan, barangkali kuatir menyinggung perasaan saya sebagai pelajar yang suka ‘tidur” dan berdiam diri. Karena penasaran saya mencoba menguak maksud sang Doktor itu
“Berbeda gimana Pak”. Tanya saya pada Doktor yang diraih tahun lalu itu. Ia hanya tertawa kecil. Lalu ia mengawali dengan gaya hidup masyarakat saat ini dengan perubahan global yang ditandai oleh masuknya dunia maya di rumah-rumah mereka. “Maksudnya, kalau saat ini mereka berdiam diri kalau tidak chating ya lihat film, tetapi itu sepengetahuan saya saja” Timpal Doktor itu
Penuturan singkat dari Pak Doktor itu tentunya menggugah kita bahwa memang telah terjadi pergeseran lempeng aktivitas. Diakuti atau tidak pergeseran ini telah menimbulkan arah kehidupan yang semakin borjuis pada satu sisi. Pada perkembangan lain, tingkat kemerosotan tujuan utama itu semakin tajam
Tengoklah apa yang dilakukan sebagian kawan kita yang suka mengumbar akesesoris, perubahan gaya kosa kata serta penampilan nyentrik ala artis Mandra. Tidak cukup itu, alat transportasi sebagai media penghubung ke perkuliahan/berbagai tempat pun menjadi persoalan serius. Seperti anjurannya Mbah Ketut itu yang mengajak untuk memakai taxi
Penjelajahan ke sebuah negara untuk menuntuk pendidikan ternyata diikuti oleh perubahan gaya hidup, bukan perubahan dari sedikit tahu (ilmu) ingin tahu , tetapi dari tidak tahu menjadi amat tidak tahu