Kemenangan SBY dan Bejatnya Nilai JK

Gara-gara dipinjami buku “Harus Bisa” gaya memimpin a’la SBY karya Dr Doni Patti Djalal oleh Falah bikin tingkat kepercayaan saya kepada SBY semakin tinggi, dulunya yang cuman 0,2% setelah membaca berubah 90%. Beginilah gaya kampanye terselubung yang dilakukan pendung berat si FQ. Buku setebal tiga ratus halaman lebih itu sangat inspiratif. Banyak gaya dan cara kerja presiden SBY dibedah oleh Doni . Terlepas kurang subyektif sang pengarang karena masih dalam ruang lingkup kekuasaan, buku itu sangat bagus untuk kepemimpinan

Dilihat dari sudut pandang penerbitan di saat musim pemilu juga perlu waspadai. Nampak Doni menjual SBY lewat buku yang dikarangnya kepada pembaca. Toh nama SBY sebenarnya sudah jauh lebih popular dari pemanis-pemanis lain. Pemilu legislatif contohnya. Tingkat popularitas SBY mampu melambungkan partai baru yang ia bidani menduduki peringkat pertama. Dan diikuti –kembali- terpilihnya SBY menjadi presiden RI periode 2009-2014

buku karya dr doni patti djalal

Seorang pengamat pernah bilang siapa pun pendambing SBY (sampai Sumanto pun wakilnya), popularitas beliau tetap tak akan tergoyahkan untuk melanjutkan kepemimpinan presiden RI. Sebegitukah pengamatan seorang pakar politik itu? Tidak semuanya benar. Ada tahap-tahap dimana SBY menjulang dan ada masa dimana popularitasnya turun. Seperti pada kasus belakangan ini, menjelang pemilihan presiden tingkat akseptabilitas SBY turun, sementara calon pasangan lain seperti JK-WIN semakin naik. Adanya asumsi SBY kurang mewakili wilayah Jawa luar Jawa dan tingkat arogansi kian menjadi-jadi (karena menilai sudah menang di atas angin) termasuk isu neoliberalisme, salah satu faktor masyarakat non konservatif mengalihkan pilihannya pada kandidat lain

Minggu lalu saya sempat berbincang-bincang dengan mantan wartawan senior ANTARA yang saat ini bekerja di KBRI Yaman waktu berlibur ke Kairo, beliau menyatakan bahwa kemungkinan besar JK merupakan kandidat kuat yang mampu menyaingi SBY di putaran ke dua. Alasannya suara Mega-Pro akan dialihkan ke JK. Dengan demikian menurutnya, JK kemungkinan besar –mampu- menyalip suara SBY

Entah komentar mantan wartawan senior yang juga saudara Pak Habibie (pengaja sekolah SIC) apakah karena beliau pendukung konservatif JK. Saya pun sebenarnya tak jauh berbeda dengan prediksi bapak itu. Sebab selain popularitas JK meningkat, pendukung dari kalangan ormas Islam seperti NU dan muhammadiyah juga besar

Ditambah lagi hasil polling yang baru-baru ini dilakukan oleh Qalam Cetak, pada tingkat lokal seperti Kairo, niai JK menjulang tinggi. Pendukung gerakan konservatif sayap (kekeluargaan) dan suara baru (dari golongan organisasi ke-islaman) sangat apresiatif pada JK-WIN. Alasannya cukup klasik mereka merasa terwakili oleh gaya JK-WIN yang islami. Istri keduanya tak luput dari kerudung, demikian juga latar belakang JK yang pernah menjadi pengurus NU di Sulawesi

Sayang kenyataannya berbalik Sembilan puluh derajat. Suara JK-WIN yang digadang-gadang mampu mengimbangi SBY-Boediono ternyata malah memperoleh suara terakhir setelah SBY, Mega. Fakta ini menimbulkan pertanyaan sekaligus asumni. Di manakah suara pendukung organisasi ke-agaman seperti NU dan Mohammadiyah yang sejak awal mengawal dan menghiasi kampanye JK? Adakalah telah terjadi kecurangan –penggelembungan suara- yang dilakukan oknum tertentu untuk memenangkan pihak tertentu?

Keanehan itu perlu ditindak lanjuti. Sebab hasil penghitungan cepat yang dilakukan oleh berbagai lembaga survai telah menempatkan suara SBY jauh mengungguli calon lain seperti Mega dan JK. Lembaga-lembaga survai yang konon dibiayai pihak calon yang masih incumbent ini apakah valid atau sedikit ada rekasaya. Tentunya setiap lembaga yang dibiayai oleh pihak-pihak tertentu memiliki kepentingan tertentu pula.dan ini perlu dimaklumi bersama

Meski kadang kala saya merasa kurang nyaman dengan pengumuman dini yang dilakukan oleh lembaga-lembaga survai itu. Alasannya adalah. Pertama, dengan mengumumkan dini yang dipublikasikan oleh lembaga survai, akan mengurangi kompetisi antar calon. Kedua, menimbulkan kebosanan, karena yang dipampang oleh lembaga survai praktis statis tak berubah dari hasil suara. Ketiga, KPU selaku tim penyelenggara pemilu nyaris tak berlaku. Bukan hanya media Massa maupun elektronik yang sudah –kadung- mempercayai hasil survai sekaligus dijadikan sebagai referensi utama, tapi kaum elite politik pun sekarang menjadikan lembaga survai sebagai rujukan utama ketimbang hasil resmi KPU

Buktinya ketika lembaga survai mempublikasikan bahwa SBY-Boediono menang, para tim sukses maupun pihak calon sudah –seoah-olah menang- berpesta atau sekedar menggelar jumpa press atas kemenangannya. Kalau demikian, dan memang benar nyaris menang (karena hasil suara lembaga survai) maka lebih baik untuk pemilu-pemilu mendatang tak perlu lagi lembaga resmi seperti KPU. Ini tentu saja demi pengiritan uang negara . lagian selama ini KPU dinilai lambat bekerja dan selalu saja menimbulkan kontrofersi

Jadi cukup mengorder lembaga-lembaga survai tersebut agar supaya lebih cepat lebih baik, masyarakat mengetahui hasil perolehan suara. Dan biayanya pun saya kira lebih sedikit, ketimbang KPU yang bikin masalah dalam masalah

Selamat untuk pasangat SBY-Boediono, lanjutkan pembangunan yang masih belum selesai, dan realisasikan janji-janjimu yang telah kamu umbar di depan rakyat banyak. Sebelum kamu diminta pertanggung jawabannya di depan Tuhan yang maha esa

One thought on “Kemenangan SBY dan Bejatnya Nilai JK

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top