Setelah diadakan acara gede-gedean dengan tema Peningkatan Prestasi Mahasiswa tahun lalu bersama tokoh-tokoh Indonesia, salahsatu poin yang menjadi angin segar mahasiswa adalah adanya berita penurunan jumlah hafalan qur’an dari delapan menjadi empat untuk strata Licence atau ujian masuk bagi Master Of Arts. Kebijakan mengejutkan tersebut tentunya sangat menggembirakan mahasiswa yang belum memiliki cukup modal hafalan atau jumlah empat juzz terlalu sedikit bagi kalangan mahasiswa yang sudah khatam qur’an. Namun benarkahn kebijakan itu sekarang dicabut?
Salahsatu pembahasan yang diusung dalam Lokakarya saat itu adalah kendala mahasiswa Indonesia menghafal qur’an. Dalam ceramahnya di Al-Azhar Conference Centre, grand syeikh of Al-Azhar Dr Thantowi menilai jumlah hafalan delapan juzz sebenarnya sangat sedikit dibanding dengan mahasiswa pribumi sendiri yang harus khatam tiga puluh juzz, menurutnya satu tahun cuman menghafal dua juzz sangatlah ringan, jadi tidak ada alasan bahwa qur’an merupakan kendala utama mahasiswa gagal. Ungkapnya
Kendati demikian beberapa pihak masih merekomendasikan agar qur’an dikurangi jumlah hafalannya, bahkan ada isu supaya pelajaran hafalan qur’an dihapus dari materi pelajaran Al-Azhar. Dari dua rekomentasi ini usulan pertama yang diterima sedangkan usulan kedua ditolak pihak Al-Azhar, alasannya keberadaannya Al-Azhar tidak bisa dilepaskan dari qur’an
Tapi dikabulkannya penurunan qur’an dari delapan menjadi empat telah menciptakan permasalahan baru, timbul pro kontra baik dari kalangan dalam –pihak sebagian dosen al-azhar- maupun mahasiswa. Pihak kontra yang diwakili oleh masyayekh Al-Azhar ini menilai bahwa menurunkan nilai jumlah hafalan sama saja mengurangi kualitas Al-Azhar beserta martabatnya yang sudah mendunia. Sementara pihak pro memandang bahwa pelajar luar negeri merupakan utusan bangsanya, jadi mengurangi jumlah hafalan adalah keputusan tepat supaya mereka cepat kelar studi dan segera pulang berdakwah ke negaranya
Dua pihak yang saling bertolak belakang ini akhirnya menimbulkan perpecahan dalam Al-Azhar –terlihat- diantara yang paling mencolok adalah lembaga-lembaga cabang Al-Azhar daerah yang masih bersikukuh mempertahankan hafalan delapan juzz. Padahal lembaga cabang –kebanyakan- merupakan lembaga alternatif mahasiswa asing yang sudah terusir karena tidak naik bertahun-tahun dari lembaga pusat Al-Azhar. Maka tidak logis jika lembaga pusat saja yang terkenal angker dan solid sudah menurunkan jumlah hafalan sementara lembaga-lembaga cabang masih tetap delapan juzz
Dari sinilah penulis menilai terjadi secamam dialog kembali antar pembesar Al-Azhar dalam menyatukan persepsi antar lembaga yang sudah mengarah pada perpecahan. Penulis menilai agenda yang dibahas tidak lain adalah adanya kemungkinan dikembalikan lagi jumlah hafalan seperti semula yaitu delapan juzz dan saat ini isu soal itu semakin menguak ditengah-tengah mahasiswa Masisir yang barangkali masih menikmati euforia terhadap kebijakan penetapan empat juzz
Apabila isu pengembalian hafalan ke delapan juzz benar, maka kebijakan itu telah memulihkan citra Al-Azhar yang selama ini masih terikat kuat dengan qur’an dan sekaligus mengembalikan perjuangan mahasiswa Al-Azhar dalam menghafal qur’an dengan serius