Peristiwa pengeboman di Hotel JW Mariott dan Ritz-Carlton Jum’at 17/07/09 lalu telah mengubah kembali persepsi Indonesia di mata dunia Internasional. Setidaknya sebagai negara yang -dianggap- berhasil menumpas teroris dalam beberapa tahun belakangan ini. Kita sempat berbangga kala itu, pidato presiden Amerika Serikat Barack Obama di Cairo University bulan Juni kemarin sempat beberapa kali menyebut Indonesia sebagai negara demokrasi dan toleransi. Obama secara tidak langsung sebenarnya telah mempromosikan Indonesia di mata dunia Internasional bahwa Indonesia patut dijadikan contoh dan panutan umat dunia
Namun apa boleh buat, belum genap tiga bulan sanjungan orang nomer wahid di Amerika itu ternyata teroris masih bertebaran di Indonesia. Kali ini sasarannya adalah hotel Marriott dan Ritz Carlton di mana yang terakhir merupakan tempat yang bakal dijadikan markas penginapan skuat Sir Alex Ferguson dalam tour MU ke Asia
Pasca kejadian tersebut, spekulasi pun berterbaran bak jamur. Dari upaya menggagalkan SBY-Boediono dilantik menjadi presiden, persaingan bisnis hingga murni aksi terorisme yang diklaim sebagai anak asuh Noordin M Top. Bermacam-macam spekulasi yang dilontarkan pemerintahan maupun pengamat sah-sah saja. Kita memberikan apresiasi setinggi-tingginya bagi mereka selagi masih dalam batas kewajaran dan sopan santun. Tapi ada satu hal yang bikin kita pilu, kecewa dan tentu saja menyia-nyiakan kesempatan emas. MU mengcancel kunjungan ke Indonesia. Dengan demikian ada dua kerugian yang diderita atas pengcancelan itu. Pertama; pudarnya harapan fans MU Indonesia untuk bertemu dengan idolanya. Kedua; PSSI selaku pihak penyelenggara harus menanggung kerugian yang ditaksir sebesar 50 milyar rupiah
Jahat bukan Jihat
Serangkain aksi bom bunuh diri yang dilakukan diberbagai negara terutama di wilayah konflik seperti Afganistan, Irak termasuk Indonesia menisbatkan dirinya sebagai jihat fisabilillah. Benar tidaknya klaim tersebut yang pasti Islam seperti benalu yang erat dikaitkan dengan tuduan itu. Kita kadang merasa prihatin dan mengelus dada saat dunia menautkan bom bunuh diri dengan Islam. Seolah Islam mengajarkan secara shahih tindakan brutal yang tak mendasar itu.
Kita sadari bahwa semenjak pasca runtuhnya gedung pencakar langit (WTC) 2001 silam. Islam menjadi buah bibir dunia internasional. Sekawanan kelompok yang mengatasnamakan jaringan Al-Qaida diduga kuat oleh Barat sebagai pelaku 11 September itu. Osama bin Laden bos jaringan garis keras melalui saluran televisi satelit Aljazeera membenarkan tuduhan yang dialamatkannya. Bahkan menganjurkan memerangi Amerika dan sekutunya. Ini bukti nyata bahwa Islam menurut versi Barat mengajarkan kekerasan. Pun demikian Islam merasa dituduh dan dirugikan oleh sebagian kelompok kecil orang Islam
Khaled Abou El Fadl sendiri menampik pandangan Barat dengan menyatakan bahwa jihat memang termasuk prinsip teologi dalam Islam, akan tetapi dilakukan secara baik (toleransi), melaksanakan yang hak dan menumpas yang batil tanpa mengganggu kepentingan umum. Sementara bom bunuh diri menurutnya bukan jihat melainkan qital
Dengan demikian aksi yang selama ini dilakukan oleh gerakan Islam konservatif –garis keras- bukanlah jihat yang diingkan Islam, melainkan kejahatan dan kriminalitas murni, sebab secara keamanan telah mengganggu dan merugikan kepentingan umum.
Jihat Sesunggunya
Di tengah dunia mengutuk aksi bom bunuh diri di Hotel JW Mariott dan Ritz-Carlton. Kegentingan pasca pemilihan presiden Iran serta upaya perdamaian Israel dan Pelestina mengalami jalan buntu. Ada satu kepedihan mendalam yang larut dalam sorotan dunia internasional. Tepat 1 Juli lalu, Marwa El Sherbini seorang ibu rumah tangga berusia 31 tahun asal Mesir tewas di pengadilan Jerman akibat tusukan Alex
Alex adalah warga Jerman tetangga Marwa El Sherbini yang menuduh wanita Mesir itu teroris karena mengenakan hijab (cadar khas Islam). Sebagai seorang akademisi dari Mesir yang mendapatkan beasiswa studi ke Jerman, tentu saja tuduhan itu telah mencermarkan nama baik Marwa El Sherbini beserta keluarga
Akhirnya pada bulan Agustus tahun lalu, Marwa El Sherbini mengajukan kasus pencemaran nama baik yang dituduhkan Alex (28) ke mahkamah Jerman. Usaha ini tidak sia-sia. Awal bulan lalu (1/7/09) Marwa El Sherbini memenangkan perkara tersebut, sementara Alex harus membayar denda sejumlah 2.800 Euro karena telah menghina
Namun apa daya. Kemenangan itu dibayar dengan kematian. Mrwa tewas setelah mendapatkan 18 kali tusukan dari Alex. Syahidah berjilbab yang sedang mengandung empat bulan itu meninggal di lokasi pengadilan. Beginilah jika kaum minoritas berada di tempat kaum mayoritas. Inilah jihat yang sesungguhnya. Jihat melawan kebatilan dan mempertahankan kebenaran
Unsur Kepentingan
Kematian Marwa El Sherbini telah melukai dunia muslim, kaum hawa dan terlebih Mesir sebagai negara asal Marwa dilahirkan. Serangkain aksi demonstrasi terjadi di Jerman maupun Mesir menuntut pembunuh mendapatkan ganjaran yang setimpal. Sayang aksi mengutuk pelanggaran HAM terhadap kaum lemah tersebut tak membawa kabar istimewa media-media internasional. Setali dengan itu pemerintahan Mesir sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kematian warganya bungkam seribu bahasa
Di sini memperjelas bahwa Mesir selaku sekutu Amerika tak menghendaki kasus sepele (kematian Marwa) merusak hubungan bilateral antar dua negara yang sudah terjalin sejak lama. Para jurnalis Mesir mengkritik atas sikap apatis pemerintahMesir. Menurutnya pemerintah seharusnya memberi peringatan tegas pada Eropa bahwa perlakuan semacam ini tidak dapat diterima, namun mereka malah tinggal diam
Kematian Marwa adalah kasus besar, karena ini melibatkan dua negara dan berkaitan masalah agama. Sayang jihat sesunggunya yang dilakukan oleh Marwa ini kalah tenar dengan berita jihat-jihatan (bom bunuh diri)