A. Mengenal Ibnu Katsir

Ibnu Katsir adalah sosok ulama besar. Dengan karya-karyanya yang brilian menjadikan beliau rujukan para ulama hingga sekarang. Nama lengkap beliau adalah Abul Fida’, Imaduddin Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasyi al-Bushrawi ad-Dimasyqi, lebih dikenal dengan nama Ibnu Katsir. Beliau lahir pada tahun 701 H/1301 di sebuah desa bagian kota Bashra di negeri Syam.1 Pada usia 4 tahun, ayahnya meninggal sehingga kemudian Ibnu Katsir diasuh oleh pamannya Abd Wahab. Pada tahun 706 H, diusia 5 tahun beliau pindah dan menetap di kota Damaskus. Disini beliau memperdalam kitab fiqh dan hadits dengan berguru kepada Ibn Taimiyyah2. Dengan  kecintaan terhadap ilmu agama  serta berkembang pesat ilmunya  menjadikan Ibn Katsir memiliki derajat tinggi diantara lainnya dan oleh Imam Dahbi menggolongkannya sebagai kelompok pengkonsep para huffadz.3

Ibnu Katsir meninggal dunia pada tahun 774 H/1372 M di Damaskus dan dikuburkan bersebelahan dengan makam gurunya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Meski kini beliau telah lama tiada, tapi peninggalannya akan tetap berada di tengah umat, menjadi rujukan terpercaya dalam memahami Al Qur’an serta Islam secara umum. Umat masih akan terus mengambil manfaat dari karya-karyanya yang sangat berharga.4

B. Idiologi Ibn Katsir dan Masa Sekarang

Sebagai seorang yang tersohor pada abad 8. Ibn Katsir layak disejajarkan dengan ulama-ulama terkemuka seperti Imam Thobari, Qurtubi dll. Beliau bukan saja ahli dalam satu pengkajian, namun memiliki berbagai macam dimensi ilmu baik dalam bidang sejarah, tafsir maupun hadits. Bahkan Ibn Majah menyatakan beliau selalu tidak terlepas dari dunia keilmuan, ingatannya sangat kuat dan kehidupannya selalu dipenuhi dengan menulis kitab.5 Didekasi yang tulus serta berkelanjutan mengantarakan Ibn Katsir menduduki kasta tinggi dalam dunia keilmuan. dalam sejarahnya beliau melakukan ritual berguru dari satu tempat ke tempat lain.6 Hasilnya beliau menelorkan berbagai macam ragam karya yang berkualitas. Dari hasil karya yang tersohor adalah dalam bidang tafsir yang dikenal dengan nama tafsir Ibn Katsir.7 Para ulama mengatakan bahwa tafsir Ibnu Katsir adalah sebaik-baik tafsir yang ada di zaman ini, karena ia memiliki berbagai keistimewaan. Keistimewaan yang terpenting yakni -tafsir yang paling benar- adalah ; tafsir Alquran dengan Alquran sendiri; bila penafsiran Alquran dengan Alquran tidak didapatkan, maka Alquran harus ditafsirkan dengan hadis Nabi Muhammad SAW–menurut Alquran sendiri, Nabi memang diperintahkan untuk menerangkan isi Alquran; jika yang kedua tidak didapatkan, maka Alquran harus ditafsirkan oleh pendapat para sahabat karena merekalah orang yang paling mengetahui konteks sosial turunnya Alquran; jika yang ketiga juga tidak ditemukan, maka pendapat dari para tabiin dapat diambil.8

Seorang ulama kontemporer Muhammad Rasyid Ridho memaparkan bahwa tafsir Ibn Katsir merupakan tafsir paling masyhur yang memberikan perhatian besar terhadap apa yang diriwayatkan dari para mufasir salaf dan menjelaskan makna-makna ayat dan hukum-hukumnya serta menjauhi perbahasan i’rab dan cabang-cabang balaghah yang pada umumnya dibicarakan secara panjang lebar oleh kebanyakan mufasir; juga menjauhi pembicaraan yang melebar pada ilmu-ilmu lain yang tidak diperlukan dalam memahami Qur’an secara umum atau memahami hukum dan nasihat-nasihatnya secara khusus.9

Dengan metode bilma’tsur, tafsir ini memberikan keunikan dan bobot tersendiri. Selain berhati-hati dan teliti dalam menafsirkan al-qur’an, juga memberikan kemudahan dalam memahami isi kandungan al-qur’an. Selain  juga menyebutkan hadits-hadits yang berhubungan dengan ayat tersebut dilanjutkan dengan penafsiran para sahabat dan para tabiin Beliau juga sering mentarjih diantara beberapa pendapat yang berbeda, mengomentari riwayat yang shoheh atau yang dhoif (lemah). mengomentari periwayatan isroiliyyat. Dalam menafsirkan ayat-ayat hukum, ia menyebutkan pendapat para Fuqaha (ulama fiqih) dengan mendiskusikan dalil-dalilnya, walaupun tidak secara panjang lebar. Imam Suyuthy dan Zarqoni menyanjung tafsir ini dengan berkomentar; Sesungguhnya belum ada ulama’ yang mengarang dalam metode seperti ini. Dengan keunikan itulah tafsir Ibn Kasir dijadikan rukukan oleh para ulama dan mufassir hingga sekarang.

Meski tercatat sebagai buku turast, tetapi tidak akan usang jika disandingkan dengan masa kekinian. Karya-karya yang mustahil dijumpai para era sekarang ini masih dibutuhkan umat sebagai rujukan dalil dan penafsiran. Dengan metode kuat dan akurat yaitu bilma’tsur keilmiahan serta kebenarannya tidak akan diragukan lagi. Beda dengan karya-karya ulama lain yang sebagian mengetengahkan penafsiran dengan metode arro’yu (penafsiran dengan akal)10 kadang kala memberikan pemikiran kontras dengan orang lain. kendati tidak semua penafsiran semacam ini berlabelkan makruh, akan tetapi bagi sebagian ulama ekstrim yang telah mengecap no atas pencampuran metode akal tentu dianggap sebagai penafsiran membahayakan. Dengan demkian sudah jelas bahwa penafsiran dengan metode seperti ini tidak akan mewakili seluruh komunitas ulama baik dulu maupun sekarang. Itulah sebabnya sebagian besar karya-karyanya tenggelam oleh metode yang diusung oleh Ibnu Katsir, Imam Thobari dkk

Oleh sebabnya alqur’an sebagai wahyu Tuhan tidak serta merta ditafsirkan dengan metodologi membabibuta. Penulis sendiri jera dengan artikel berjudul “Kecenderungan Berideologi dalam Tafsir Al-Qur’an”11 yang ditulis intelektual muda kairo Dede Sulaiman, saya menganggap beliau sangat alergi dengan karya-karya yang yang didentumkan oleh kaum salaf. Dalam tulisannya beliau mengkritik  bahwa hanya kaum salaf saja yang berhak menafsirkan al-qur’an dimana dapat menimbulkan efek samping terhadap pembatasan otoritas penafsiran oleh sebagian kelompok umat Islam. Bagi saya ungkapan baliau sedikit provokatif terkait dengan kaum salaf. Dan sejujurnya bahwa kaum penulis sekarang tidak bisa menciptakan karya yang sepadan dengan ulama zaman dahulu . Saat ini seorang penulis lebih banyak menghasilkan karya yang tidak utuh, belum lagi kecondongan akan material akhirnya karyapun tidak berkualitas.

Parodi ini masih belum berhenti, hasil karya penafsiran zaman sekarang lebih cenderung mencari titik lemah. Dalam kontek ini  penafsiran yang masih ada ikhtilafnya diperparah dan dibesar-besarkan dengan metode dibuat-buat. Itulah mengapa karya atau penafsirkan antara ulama salaf dengan zaman sekarang jauh berbeda. Hanya satu yang bisa kita lakukan adalah merujuk pada ulama salaf. Wallahua’lam bissoab

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top