Hari Raya Kupatan

Hari raya kupatan, sebuah nama yang sedikit aneh jika ditilik dari kamus agama. Kurafat dan bid’ah menurut pandangan orang cingkrang. Sangat disayangkan menurut kacamata Islam garis lurus. Karena Nabi tak mengajarkan dan melakukan hari raya kupatan. Yang ada cuman dua; idul fitri dan idul adha. Nama ini mungkin akan menjadi cerita dan persoalan panjang apabila masuk dalam kajian Islam Salafi.

Islam zaman now mungkin punya pendapat lain; hari raya kupatan itu sangat mengenyangkan, maka lanjutkan..! saya sepakat jika kupatan dimaknai sebagai proses perbaikan gizi, karena disitu ada kegiatan makan-makan dari nasi dibungkus janur berbentuk kupat, ada lauk pauk, sayur berisi lulang, kerang, udang dan lain sebagainya.

Tapi perlu mawas diri, jangan sampai makan-makan (letupan panji gumilang yang sempat viral) kebanyakan dari standar dan porsinya. Ini akan kena pasal agama dan dianggap sebagai orang yang “melampaui batas”. Dan jangan pula mecoba memaksakan nama ini masuk dalam bagian ajaran Islam, nanti anda akan dicap orang murtad.

makan bersama seperti inilah merupakan bagian dari keberkahan

Tapi anggaplah kegiatan ini sebuah tradisi baik, melestarikan peninggalan Sunan Kali Jaga untuk kebaikan umat dari hal-hal melenceng. Saya kira sebagai umat Islam ucapan terima kasih itu bagian dari bentuk rasa syukur kepada Allah; syukur atas nikmat yang diberikan, syukur bisa menjadi orang islam, bersyukur bertempat di Indonesia yang moyoritas agama muslim. Bayangkan jika anda berada di Israel. Barangkali bukan ketupat yang anda pegang dan makan, tapi senapan peluru dan bom yang anda dapatkan.

Demikian pula Sunan Kali Jaga, salahsatu wali songo – bukan wali murid seperti kita –  penyebar Islam Jawa saya yakin sudah dipertimbangkan dampak maslahah dan madhorotnya. Baik masa itu dan masa akan datang. Jadi tak perlu kuatir melakukan tradisi baik dari peninggalan orang baik. Apalagi kalau ketupat itu bagian dari bid’ah, pasti orang seperti ini kurang ngopi dan kurang ngajar. Maka perlu di ngopeni sambil diajar supaya agak sedikit tercerahkan sehingga dapat gelar ilmu sosial kemasyarakatan.

Maka tanpa disadari hari raya idul fitri di kita selalu terhubung seperti kabel  yang  menyambung tak terputus dengan ketupat. Ada idul fitri ada ketupat. Tapi tak selalu ketupat itu ada di hari raya idul fitri, dan itu disepakati menurut jumhurul ulama dan ulamin alias imin tak masuk kategori bid’ah. Kadang nongol di acara pernikahan, keluarga. Tak perlu bertanya dan minta fatwa tentang bolehkah membuat ketupat selain hari raya idul fitri?

Ditilik dari sudut pandang orang lapar, ketupat selalu nongol pada hari raya idul fitri. Orang Indonesia menisbatkan dengan sebutan hari raya ketupat khususnya di Jawa. Alhmdulillah orang Indonesia saya amati senang merawat tradisi peninggalan pendahulu. Sesuai falsafah arab “merawat tradisi yang baik, dan mengambil hal baru yang lebih baik”. Tradisi ketupat salahsatunya adalah tradisi baik dari peninggalan orang baik.

Ketupat dari sejarahnya memiliki tujuan mulia; mengentaskan kebiasaan orang kuno kejawen ke hal yang lebih bermafaat sesuai dengan tatatan agama. Sehingga tak ada tujuan lain kecuali mengkelaborasikan  tradisi budaya jawa dimasukkan dalam hari besar Islam.

Coba anda amati sekarang ini, sulit mencari pendakwah yang mampu mengkombinasikan budaya yang barangkali melenceng dengan pendekatan dakwah. Paling banter pendekatan artis, politisi, pendekatan warisan ataupun trah nasab. Nah tradisi yang sudah tertanam baik dengan segala perjuangannya harus tetap di jaga termasuk ketupat ini.

Di desa saya dan mungkin desa lain, ketupat tidak hanya sebagai simbul idul fitri, tapi merupakan simbol kebaikan bagi orang yang menjalankan puasa sunnah Syawal. Sehingga mendapatkan tempat tersendiri. Saya tidak menyatakan mengkultuskan ketupat nanti kuatir kena pasal bid’ah dan khurafat, tapi ada hari sendiri dimana perayaannya juga dimaknai sebagai hari raya. Maka orang desa menyebutnya hari raya ketupat.

Hari raya ketupat tradisi yang sudah berjalan lama di desa saya biasa dilaksanakan pada tanggal tujuh dari bulan Syawal atau satu minggu setelah hari raya Idul Fitri. Mengapa ketupat juga dinamakan hari raya? Dan mengapa dilaksanakan tanggal tujuh Syawal? Anda tak perlu banyak tanya, saya pun juga hanya mengira-ngira sesuai firasat . Kira-kira menurut saya begini, pertama dinamakan hari raya karena ketupat juga bagian dari kemenangan kedua umat Islam setelah kemenangan Manahan hawa nafsu seteleh sebulan penuh berpuasa ramadhan, karena menang, maka kita paling tidak merayakannya.

Kedua posisi tanggal tujuh syawal, tanggal itu sebagai bentuk penghormatan atas kemenangan umat Islam berpuasa Syawal selama enam hari. Meski saya yakin banyak yang tidak berpuasa syawal, tapi tak apalah membawa berkat ketupat beserta isinya sudah bagian dari shodaqoh dan keberkahan.  

Pelaksanaannya biasa pagi hari, ada juga yang melaksanakan malam ke tujuh bulan Syawal (karena kalender hijriyah sudah masuk tanggal tujuh syawal). Tak ada sholat atau pun khutbah seperti idul fitri atau idul adha -kalau ada, saya rela dicap bid’ah dan khurafat-, tapi kumpul bareng di serambi masjid atau mushola lalu mengadakan sholawatan, baca yasin dan kirim doa kepada leluhur yang sudah meninggal.

Selain itu saya memaknai berkumpul ini upaya rekonsiliasi lokal antar sesama. Perwujudan manusia untuk saling memaafkan di suasana fitri yang barangkali selepas lebaran kemarin belum bersilaturrahmi karena satu dan lain hal. Nah hari raya ketupat adalah momentum dan kesempatan baik untuk berbuat yang terbaik karena disitulah orang-orang yang notabene tetangga kita berkumpul dalam satu majelis.

Ketupat sendiri berarti ngapu lepat, sehingga bermaaf-maafan adalah jalan terbaik di momentum bulan yang baik, selain juga ada makanan baik untuk membangung gizi yang berkualitas.

Namun saya mendengar tradisi semacam ini -kumpul bareng dalam majelis- untuk merayakan hari raya ketupa sudah mulai pudar. Pudar bukan berarti menghilang, tetapi nampaknya ada sedikit pergeseran tradisi dari semula berkumpul bareng menjadi hanya membagi-bagikan ketupat antar tetangga saja.

Bagi saya pribadi sah-sah saja mereka melakukan itu. Dan tidak perlu risau karena manusia dan tuhan tidak akan mengharamkannya. Meski masuk kategori shodaqohan, tapi ada dua momentum terbuang ketika perkumpulan itu ditiadakan. Pertama keberkahan. Orang berkumpul adalah bagian berkah tersendiri. Kedua, pintu ijtihaj untuk berkesempatan saling minta maaf juga hilang. Jadi menurut saya jangan meremehkan perkumpulan dalam sebuah majelis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top