Generasi Yang Tersisa

Pertemuan malam itu barangkali akan tambah semarak, dahsyat dan apapun namanya seandainya kawan-kawan masih utuh seperti lima tahun silam. Iya lima tahun memang tak terlalu lama, juga gak sebentar, jadi masih tersimpan segar dalam memori otak. Dunia boleh melupakan goyang samba ala Ibnu saat mencoba menjadi penari perut sesaat di sungai Nil malam itu. Tapi adegan kencingnya di hamparan gurun bersama kawan-kawan lain terasa sulit melupakannya, karena mantan tukang simsar rumah si putung dari bawwabah tiga itu acap kali bertemu dengan saya selalu mengingatkan dengan pertanyaan; “Finn Itsnain Gihih”? (sambil keliru mengutip hadits yang bikin kami waktu itu tertawa terbahak-bahak; “ayatul muslimin tsalasah….!”)

Lima tahun lalu ternyata simsar yang biasa duduk tersipu di depan rumah makan Bang Bobi itu (dulu warnet kristal) masih ingat dengan wajah saya. Sehabis sholat Jum’at kemarin di bawwabah tiga, pak putung biasa kami memanggil karena punya satu tangan, tiba-tiba menyapa saya sambil bergurau; “Fien itsnain ginih..!”. saya hanya tersenyum dan terperangah, ternyata ingatan dia sangat kuat

Otak kadang memang menerima hal-hal remeh, kadang pula menolak hal-hal urgen. Anda bisa menemukan berapa banyak orang kesulitan menghafal nomer ponselnya ketimbang melupakan mantan kekasihnya? Toh kata orang, gak mungkin akan menelpon ke nomer dirinya sendiri. Jadi gak perlu dihafal, mending menghafal alqur’an daripada nomer ponselnya walau juga kesulitan. Begitula memori otak kita

memori (kenangan) itu juga saya rasakan dalam pertemuan malam kemarin (senin, 12/4/10). Sambil ngobrol bersama kawan-kawan berjumlah tujuh orang – jumlah yang sebenarnya gak terlalu sedikit – sepertinya masih ada yang kurang dari pertemuan itu. Jok-jok memukau yang dulu sering direbutkan oleh Ibnu dan Ghopar dalam soal urusan kekasih, malam itu hanya bisa melototi tingkah laku Royan, anak baru melek dunia putra Ida itu mendadak menjadi idola tunggal kawan-kawan malam itu

Begitulah kalau menjadi generasi manusia tersisa. Sisa realita dari absurditas zaman. Kita harus tabah dengan realita dunia, takdir tuhan. Tapi jangan berputus asa, tugas kita hanya berusaha dan berdoa. Tuhanlah penentu segal-galanya. “Santai saja..!” Begitu ungkapan singkat Jih Kholid suatu saat

 “Hidup ini sudah ada yang ngatur” Ujar Keh Mahfudz menambahkan, yang saat ini menjadi bos penyuplai krupuk bermerk Madurasa dan alhamdulillah mengaku sudah bertungan. “Yang penting kita nikmati saja. Toh jodoh itu di tangan Tuhan dan gak akan lari kemana-mana. Tapi ada dimana-mana. Maka carilah” (waduh jadi bingung keh)

Kumpul kemarin adalah pertemuan generasi tua yang terakhir kalinya semenjak tahun 2007 silam di Zahra. Saya juga ndak tahu apakah ada niatan tertentu dari kawan-kawan malam itu khususnya shohibul ide jih Kholid. Informasi terakhir saya dapatkan Kamis kemarin langsung dari mulut jih Kholid kalau kawan-kawan bakalan berkumpul. Katanya mau curhatan. Saya juga kaget, siapa yang mau curhat? Masak orang seperti Jih Kholid yang sudah mendapatkan gelar jih masih mau curhat. Masak keh Mahfudz yang gak tahu apa itu defenisi curhat juga mau curhat? Saya malah kuatir entar yang dicurhatin Jih Kholid masalah dede-dede, sesuatu yang belum pernah saya anu. Atau curhatannya keh Mahfudz soal kerupuk yang laku keras. Wallahu a’lam

Namun akhirnya saya bersyukur, ini bertanda kalau generasi tersisa itu ternyata nasih hidup dan ada di tengah-tengah mengevolusinya generasi lain disini

foto2 lengkapnya ada di FBnya dia di sini

6 thoughts on “Generasi Yang Tersisa

  1. GENERASI TUA YANG LAGI REUNIAN.
    BTW, OTAK KITA MEMANG UNIK, KETIKA KITA MENERIMA SESUATU DARI LUAR YANG DISAMPAIKAN SECARA UNIK, MAKA OTAK KITA AKAN TERUS MENGINGATNYA. SEBALIKNYA KALAU TIDAK UNIK YA SEPERTI HALNYA MASUK TELINGA KANAN MENGUAP KELUAR LEWAT TELINGA KIRI.

  2. haha itu ada kakak anda yg siap jadi donator ala tull.Ibnu kamu dicari simsar yg dulu itu katanya masih punya utang hahah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top