Generasi Osama Telah Muncul

Benar kata Falah –wartawan Damerdasy- peliput sekaligus juru kamera, generasi Osama telah tiba. Bibit-bibit unggul “palawija” sudah datang..!. Tidak ada tujuan hidup kecuali menyantet Goerge Bush, aktor dibalik hancurnya negeri seribu satu malam itu. Terlalu sadis memang seorang balita yang belum berumur dan tak tahu bagaimana memegang senapan sudah dibebenai tugas berat sejak dalam kandungan.

Setidaknya begitu pandangan Falah wartawan peliput Timur Tengah saat memotret bocah mungil nan cerdas. Ia adalah anak seorang ta’mir  masjid dekat kedutaan Israel di Giza. Saat kami bertandang ke rumahnya yang elok dipinggiran sungai Nil Giza, spontanitas tuan rumah menyambut kami dengan ramah. Tak seperti lazimnya penduduk perkotaan yang ogah menerima penduduk non pribumi karena dianggap aib, kami dilayani layaknya kunjungan kepresidenan “George Bush”  ke Indonesia tahun silam. Tak ada karpet merah memang, akan tetapi sambutan hangat dari tuan rumah sangat luar biasa

Datang setelah Isya’ kami disambut oleh seorang perempuan separuh baya. Dialah ibu rumah tangga anak-anak. Bersama dengan dua anaknya malan itu, satu perempuan –cantik- yang perkiraan saya berumuran sekitar sweet seventeen dan satu lagi bocah laki berumur lima tahunan. Kehadiran kami membuat suasana rumah yang saat itu sedang asyiek nonton film berubah pada sibuk meladeni kami. Sementara sang perempuan cantik yang semula saya lihat lagi belajar sejurus kemudian menutup bukunya karena mendapat tugas dari sang ibu untuk membuat minuman

Setengah jam kemudian sang kakak datang dari tugas.  Entah tugas dimana anak pertama yang baru menikah tiga bulan lalu dengan mahar 25 ribu pound itu. menurut prakiraan saya dia tak jauh dengan tugas-tugas keagamaan. Sebagaimana ayahnya yang bertugas di masjid dekat kedutaan Israel. Berpakaian sederhana, berbudi luhur, jenggot yang lebat dan suka dengan acara-acara dakwah sangat potensi sang kakak itu menjadi penerus panji-panji Islam

Sebagai orang arab, ternyata dia sangat mafhum dengan kejadian konflik di Poso sepuluh tahun silam. Sambil menunjukkan film dokumenter berbahasa arab di PC Komputer tentang “Poso Berdarah”, dia menceritakan bagaimana kekuatan nasrani di salahsatu wilayah Indonesia itu bisa membantai orang-orang Islam. “Indonesia adalah basis Islam terbesar di dunia, mengapa kalah dengan kekuatan nasrani yang jumlahnya secuil?” Sahutnya sambil menyentil dalil surat Al-Baqoroh ayat 120

Sambil menonton film dokumnter “Poso Berdarah” yang sagat mengerikan karena beberapa gambar orang ditebas pisau, disembelih, bikin ibunda minta dihentikan. Saya sendiri tak kuasa melihat pembantaian yang terpotret sudah membusuk itu. rasa-rasanya jika diteruskan saya mungkin gak doyan makan

Ditengah heningnya suasana habis nonton film domenter setengah tayang itu, sang ayah datang melengkami keluaga mereka. Tak seperti biasa, beliau datang agak larut malam karena waktu itu menurutnya barusan mengikuti acara di syaidah nafisah. Meksi saya anggap tergolong masyayiekh, beliau sangat gaul dengan kami. Obrolan yang paling “sedikit” serius bersama bapak itu adalah seputar perkawinan. Perbandingan tatacara perkawinan antara sini dengan Indonesia. Beliau menceritakan kondisi perkawinan disini sangat memprihatinkan. Tidak orang kaya,sedang atau miskin memiliki “potensi” sama derajatnya soal pernikahan. Toh kalau terjadi perbedaan itu mungkin hanya terjadi pada kondisi saja baik keadaan rumah, mobil dll

Beliau mencerikan pernikahan disini setiap tahun mengalami peningkatan finansial. Bak harga tanah, mahar pernihakan disini saben tahun meningkat. Sebagaimana cerita pernikahan beliau duapuluh enam tahun lalu, cuman menghabiskan tiga ribu pound. Saat ini? Jauh lebih mahal. Menurutnya pernihakan anak pertamanya yang baru dihelat tiga bulan lalu telah menghabiskan dengan segala pernak-perniknya sebesar duapuluh lima pound, itupun sudah ditekan disana sini

“Kalau di Indonesia gimana maharnya?” Tanya beliau. Falah yang saat itu serius amat mengikuti obrolan -barangkali siapa tahu nanti diberi sang anak perempuannya yang cantik- menimpalinya dengan serius “Di negara kami mahar bukan masalah, asal terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak maupun kedua orang tua. Mahar juga gak gede-gede amat bisa seperangkat alat shalat, cincin, uang ribuan saja”

Sambil geleng-geleng kepala beliau sangat heran dengan  proses nikah di Indonesia yang begitu murah. “Terus masalah rumah”? Tanya bapak lagi. Kini giliran saya menjawab. Kayaknya Falah telah kehilangan kosentrasi ingin dengan segera mungkin mendapat kata-kata dari sang bapak “nikihi anak saya”. Karena saya belum pengalaman soal kawin, maka saya menjawab apa adanya “Kalau masalah rumah di Indonesia sangat berbeda dengan keadaan rumah disini. Di negera kami setiap keluarga besar memiliki rumah masing-masing, begitu juga dengan lahan tanah yang berada di damping lokasi rumah. Jadi bagi mereka yang  kawin dan ingin punya rumah sendiri tinggal bikin di lahan milik keluarga itu, tanpa harus membeli tanah dan rumah”

Syekh itu geleng-geleng kepala lagi, soalah-olah heran dengan kondisi pernikhan di Indonesia sekaligus kebingungan nentuin calon tunangan anaknya kepada salahsatu diantara kami bertiga 😀

Tak terasa sudah jam satu malam. Kami bertiga harus pulang. Terima kasih atas hidangan malamnya yang sangat luar biasa hingga saya sakit perut dan sering ngentut..!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top