Tahun lalu Yousef Ziedan telah diciptakan kembali dirinya sebagai intelektual publik. Meskipun prestasi ini-dia belum sepatutnya dihargai-karena ide dari pemikirannya sebagian besar masih disalahpahami. Pun dengan upayanya untuk mendefinisikan kembali soal agama sejauh ini belum berhasil. Yang lebih buruk lagi, sebagian masyarakat menganggap Ziedan sebagai polemicist muslim yang bertujuan mendiskreditkan agama.

Ziedan telah menjadi penulis produktif dan editor sejak akhir 1980-an. Selama dua dekade terakhir nama dia tetap tidak diketahui banyak kalangan kecuali di lingkaran dunia intelektual. Pada bulan Maret 2009, ia memenangkan Arabic Booker Prize untuk novel sejarahnya “Azazil”. Novel ini mendapatkan respon dan pujian secara cepat di media-media mainstream Arab serta pandangan positif dari beberapa kritikus sastra.

Tapi apa yang mendorong ketenaran Ziedan dan menempatkannya di tengah-tengah kontroversi sastra novelnya Azazil yang satu sisi–dianggap-kurang berkualitas?. Azazil adalah sebuah karya fiksi sejarah Mesir dan kawasan Mediterania Timur pada abad ke lima. Pemeran utamanya, seorang pendeta Kristen Koptik bernama Hypa. Atas keraguan imannya, dia tidak dapat mendamaikan kepercayaan Kristen dengan apa yang ia saksikan terhadap kekejaman Gereja dalam menghancurkan para pengikut sekte lain.

Dia memilih untuk bergabung dengan sebuah sekte, lazimnya Kristen sesat atau mainstream ortodoks Koptik. Keyakinan agamanya dibentuk melalui percakapan dengan suara hatinya “azazil”. Salah satu nama alkitabiah untuk syetan. Azazil bisa saja dibaca sebagai penolakan terhadap intoleransi dan penindasan terkait dengan agama di dunia saat ini. Dalam novel ini, Ziedan seperti Hypa, mengutuk kekerasan agama, merindukan sebuah masyarakat multi-agama yang toleran dan menganggap semua agama, sekte sama-sama benar. Sayangnya pesan progresif ini telah gagal. Banyak hal oleh masyakarat Ziedan dianggap sebagai manusia pemicu permasalahan.

Ziedan dituduh mempromosikan pandangan sesat serta melecehkan Kristen sebagai satu-satu wakil sah gereja itu sendiri. Namun pada spektrum sektarian agama lain-Islam-yang menganggap Ziedan manusia cerdas. Bagi mereka–sebagian umat islam-dia adalah orang yang membenarkan prasangka mereka sendiri tentang agama Kristen sebagai agama rusak dan tidak autentik.

Pada realitanya baik pandangan pro maupun kontra secara umum kurang memahami tentang sebuah novel sejarah, kemampuan untuk membedakan kebenaran dari imajinasi penulis dalam novel ini telah tampak dengan adanya komentar publik atas penentangan novel Ziedan. Ini cukup mengejutkan, karena banyak novel sejarah yang berhasil diterbitkan di Mesir telah membukukan sebuah obsesi. Dalam kasus ini yang membuat benar-benar frustasi adalah bahwa kita kesulitan menyoroti tentang diskusi publik yang cerdas soal agama di Mesir.

Melalui media, Ziedan telah menegaskan bahwa novelnya memiliki permasalahan mendalam tidak hanya perpangku pada sektarianisme saja, akan tatapi lebih luas, hubungan dua agama besar di Mesir saat ini Islam-Kristen. Dan tentu saja ia secara terbuka mengkritik intoleransi pemahaman kontemporer atas pendomisasian agama di Mesir (islam-kristen).

Ide-ide Ziedan sementara mungkin tidak asli, yang memungkinkan mengundang pembaca untuk memikirkan kembali bagaimana agama harus didekati dalam masyarakat Mesir kontemporer, mereka menyiratkan bahwa para sarjana sejarah dan filsafat berada dalam posisi yang lebih baik untuk membahas agama daripada ulama Muslim dan Kristen. Siapapun saat ini yang mengikuti media Mesir tahu, hampir tidak mungkin berbicara tantang agama tanpa kehadiran perwakilan ulama.

Pada saat yang sama, lembaga pendidikan di Mesir tidak berani dalam setiap program/korikulum memungkinkan melakukan studi akademis non religi agama. Untuk membangun konstribusi itu Ziedan berani membuat gebrakan berbicara tentang agama di luar kendali Al-Azhar dan Gereja, dua lembaga agama tertua di Mesir.

***

Kembali lagi ke buku novel Azazil, setelah delapan bulan publikasi awal, al-Lahut-buku lain karya Ziedan-masih mendominasi penjualan buku terlaris di Mesir. Tapi penjualan tinggi belum banyak merangsang perdebatan publik. Buku itu belum menarik perhatian media tak seperti Azazil. Hal ini tidak mengherankan mengingat banyak istilah-istilah rumit yang terdapat pada al-Lahut seperti kristuluijia (kristologi) dan al-munuthiliyya (monothelitisme).

Pada akhirnya masyarakat umum tahu bahwa Ziedan sebagai inteletual tertarik mendalami Kristen daripada Islam menyelamatkan dia dari nasib suram dari akhir Nasr Hamed Abu Zaid-yang gara-gara pemikirannya dia didiportasi dari negeri kelahirannya Mesir-, dan menempatkan Ziedan di posisi yang lebih baik untuk berkontribusi pada percakapan masyarakat yang haqiqi tantang agama.

2 thoughts on “Azazil

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top